4. Air Mata Noura
Meskipun cuma terlelap satu jam setengah, itu sudah cukup untuk meremajakan seluruh syaraf tubuhku. Setelah satu rumah shalat shubuh berjamaah di masjid, kami membaca Al-Qur’an bersama. Tadabbur sebentar, bergantian. Teman-teman sangat melestarikan kegiatan rutian tiap pagi ini. Selama ada di rumah, membaca Al-Qur’an dan tadabbur tetap berjalan, meskipun pagi ini kulihat mata Saiful dan Rudi melek merem menahan kantuk.
Usai tadabbur Saiful, Rudi, dan Hamdi merebahkan diri di tempat tidur masing-masing. Di musim panas, karena malamnya pendek, tidur selepas shubuh adalah hal biasa bagi kebanyakan mahasiswa Indonesia. Tidak putera, tidak puteri, semua sama. Wa bilkhusus para aktivis yang sering begadang sampai shubuh. Mereka para raja dan para ratu tidur pagi hari. Orang Mesir pun juga banyak melakukan hal yang sama. Begitu mendengar azan shubuh mereka yang tidak mau berjamaah langsung shalat lalu tidur dan bangun sekitar pukul setengah sembilan. Kantor-kantor dan instansi benar-benar membuka pelayanan setelah jam sembilan. Toko-toko juga banyak yang baru buka jam sembilan. Meskipun tidak semua. Ada beberapa instansi dan toko yang telah buka sejak jam tujuh. Yang paling disiplin buka pagi adalah warung penjual roti isy dan ful. Mereka telah buka sejak pagi-pagi sekali.
Kebiasaan tidur setelah shalat shubuh kurang baik ini sering disindir para Imam. Dalam sebuah khutbah Jum’at, imam muda kami, yaitu Syaikh Ahmad Taqiyyuddin pernah mengatakan, ‘Seandainya Israel menggempur Mesir pada jam setengah tujuh pagi maka mereka tidak akan mendapatkan perlawanan apa-apa. Mereka akan sangat mudah sekali memasuki kota Cairo dan membunuh satu per satu penduduknya. Karena pada saat itu seluruh rakyat Mesir sedang terlelap dalam tidurnya dan baru akan benar-benar bangun pukul sembilan.’
Kata-kata itu mungkin tidak seratus persen benar, tapi cukup mewakili untuk menggambarkan kelengangan kota Cairo pada jam setengah tujuh di musim panas. Padahal pada saat yang sama, di Jakarta sedang sibuk-sibuknya orang berangkat kerja, dan kemacetan terjadi di mana-mana.
Aku termasuk orang yang anti tidur langsung setelah shalat shubuh. Aku tidak mau berkah yang dijanjikan baginda Nabi di waktu pagi lewat begitu saja. Hal ini juga kutanamkan pada teman-teman satu rumah. Jadi seandainya semalam begadang dan mata sangat lelah, tetaplah diusahakan shalat shubuh berjamaah, membaca Al-Qur’an, dan sedikit tadabbur. Semoga yang sedikit itu menjadi berkah. Barulah tidur. Jika bisa tahan dulu sampai waktu dhuha datang, shalat dhuha baru tidur.
Kunyalakan komputer untuk kembali menerjemah. Baru setengah halaman bel berbunyi. Ada tamu. Ternyata Tuan Boutros dan Maria. Kupersilakan keduanya duduk.
“Fahri, maaf menganggu. Ada yang perlu kita bicarakan,” kata Tuan Boutros.
“Apa itu Tuan?”
“Noura.”
Maria langsung menyahut,
“Begini Fahri. Aku sudah berusaha keras. Tapi Noura tidak mau menceritakan segalanya. Dia hanya bilang telah diusir oleh ayah dan kakaknya karena tidak bisa melakukan hal yang ia tidak bisa melakukannya.”
“Hal yang ia tidak bisa melakukan itu maksudnya apa?” tanyaku.
“Ia tidak mau mengaku. Hanya itu yang bisa kudapat. Kami sekeluarga hanya bisa membantu sampai di sini.”
“Terus terang sebelum Si Bahadur bangun, Noura harus sudah meninggalkan rumah kami?” sahut Tuan Boutros.
“Bukannya kami tidak peduli. Kau tentu tahu sifat Si Bahadur itu. Di samping itu Noura memang ingin pergi untuk sementara. Ia kelihatan ketakutan dan cemas sekali. Ia tidak mau ayahnya tahu kalau ia ada di rumah kami,” sambung Maria.
“Lantas apa yang harus kita lakukan?” tanyaku.
“Untuk itulah kami berdua kemari. Mau tidak mau, pagi ini Noura memang harus pergi. Untuk kebaikan dirinya, dan untuk kebaikan seluruh penghuni apartemen ini. Jika sampai ia masih ada di sini, ayahnya akan kembali membuat keributan. Noura akan jadi bulan-bulanan. Masalahnya, semua orang sudah bosan. Yang jadi pikiran kami adalah Noura harus pergi ke mana. Kami tidak tega dia pergi tanpa tujuan dan tanpa rasa aman,” jelas Tuan Boutros.
“Anda benar Tuan Boutros. Dia harus pergi ke suatu tempat yang aman dan tinggal di sana beberapa waktu sampai keadaan membaik. Hmm..apakah dia tidak punya sanak saudara. Paman, bibi, atau nenek misalnya?”
“Di Cairo ini dia tidak memiliki siapa-siapa selain keluarga yang telah mengusirnya. Dia masih punya paman dan bibi. Tapi sangat jauh di Mesir selatan, dekat Aswan sana. Tepatnya di daerah Naq El-Mamariya yang terletak beberapa puluh kilo di sebelah selatan Luxor. Bahadur dan isterinya yaitu Madame Syaima berasal dari sana. Tapi Noura tidak bisa ke sana. Katanya, seingatnya ia baru dua kali ke sana dan tidak tahu jalannya. Ia tidak bisa sendirian ke sana,” jawab Maria.
“Teman sekolahnya?” tanyaku.
“Kami sudah memberikan saran itu padanya. Tapi Noura tidak mau. Ia ingin pergi ke tempat yang tidak akan ditemukan ayah dan kedua kakaknya sementara waktu. Seluruh rumah temannya telah diketahui ayahnya. Dia pernah diseret ayahnya saat tidur di rumah salah seorang temannya di Thakanat Maadi. Itu akan membuatnya malu pada setiap orang. Begitu katanya.”
Aku mengerutkan kening.
“Bagaimana dengan saudara atau kenalan kalian? Pasti kalian punya saudara dan kenalan yang tidak akan terlacak oleh ayahnya Noura. Dan itu bisa membantu Noura,” selorohku.
Tuan Boutros dan Maria sedikit kaget mendengar usulku. Keduanya berpandangan.
“Fahri, mohon kau mengertilah posisi kami. Sungguh kami ingin menolong Noura. Tapi menempatkan Noura di rumah kami, atau rumah saudara dan kenalan kami itu tidak mungkin kami lakukan. Karena ini akan menambah masalah?”
“Maksud Tuan Boutros?”
“Fahri, sebetulnya bisa saja kami membawa Noura ke tempat saudara kami. Tapi kalau nanti sampai ketahuan Bahadur masalahnya akan runyam. Bahkan kalau ada orang tidak bertanggung jawab yang suka memancing ikan di air keruh masalahnya bisa berkembang tidak hanya antara kami dan Bahadur. Bisa lebih gawat dari itu. Kau ‘kan tahu, kami sekeluarga ini penganut Kristen Koptik. Bahadur sekeluarga adalah muslim. Seluruh sanak saudara dan kolega kami yang paling dekat adalah orang-orang Koptik. Jika Noura bersembunyi di rumah kami atau rumah saudara kami bisa mendatangkan masalah. Meskipun kami tidak melakukan apa-apa kecuali menyediakan tempat dia berlindung. Kami nanti bisa dianggap merekayasa meng-Kristen-kan Noura. Kami harus menjaga perasaan Noura sendiri dan perasaan semuanya. Kau tentu tahu Noura siswi Ma’had Al Azhar. Dia tentu akan merasa asing di rumah orang yang bukan satu keyakinan dengannya. Dia akan merasa canggung untuk shalat, membaca Al-Qur’an dan lain sebagainya. Di rumah kami saja yang tetangganya, yang kenal baik dengannya, dia merasa canggung. Untuk shalat dia merasa tidak enak. Tadi kami yang mempersilakan dia untuk shalat. Kami tidak ingin ini terjadi pada Noura. Apa pun alasannya, yang paling bijak adalah menempatkan Noura di tempat orang yang satu keyakinan dengannya. Yang bisa mengerti keadaannya. Terus terang untuk ini kami minta bantuanmu. Meskipun kamu bukan orang Mesir tapi kamu tentu punya kenalan orang Mesir yang muslim. Menurut kami semua orang muslim itu baik kecuali Si Bahadur itu,” jelas Maria panjang lebar.
Aku merenungkan penjelasan Maria. Sungguh bijak dia. Kata-kata adalah cerminan isi hati dan keadaan jiwa. Kata-kata Maria menyinarkan kebersihan jiwanya. Sebesar apa pun keikhlasan untuk menolong tapi masalah akidah, masalah keimanan dan keyakinan seseorang harus dijaga dan dihormati. Menolong seseorang tidak untuk menarik seseorang mengikuti pendapat, keyakinan atau jalan hidup yang kita anut. Menolong seseorang itu karena kita berkewajiban untuk menolong. Titik. Karena kita manusia, dan orang yang kita tolong juga manusia. Kita harus memanusiakan manusia tanpa menyentuh sedikit pun kemerdekaannya meyakini agama yang dianutnya. Tak lebih dan tak kurang. Ah, andaikan umat beragama sedewasa Maria dalam memanusiakan manusia, dunia ini tentu akan damai dan tidak ada rasa saling mencurigai. Diam-diam aku bersimpati pada sikap Maria.
Aku lalu berpikir sejenak mencari jalan keluar. Sebenarnya aku bisa ke tempat Syaikh Ahmad. Tapi masalahnya, waktu sangat mendesak. Noura harus segera pergi sebelum keluarganya bangun. Dan dia harus pergi sendiri, agar tidak ada yang disalahkan, atau terseret ke dalam pusaran masalahnya dengan keluarganya. Aku teringat sesuatu.
“Oh ya aku ada ide,” kataku.
“Apa itu?” tuan Boutros dan Maria menyahut bareng.
“Bagaimana kalau sementara waktu Noura tinggal di salah satu rumah mahasiswi Indonesia di Nasr City.”
“Saya kira ini usul yang bagus. Mungkin mahasiswi Indonesia itu bisa mendekatinya dan Noura bisa menceritakan semua derita yang dialaminya. Setelah itu bisa dicarikan pemecahan bersama yang lebih baik. Sebab dia kelihatannya sudah benar-benar dimusuhi keluarganya. Noura berkata, bahkan ibunya sendiri yang dulu sering membelanya kini berbalik ikut memusuhinya. Kita tidak tahu apa yang terjadi pada Noura sebenarnya,” ujar Maria.
“Baiklah aku akan menghubungi seorang mahasiswi Indonesia di Nasr City.”
“Lebih cepat lebih baik. Waktunya semakin sempit.”
Aku langsung bergegas mengambil gagang telpon dan memutar nomor rumah Nurul, Ketua Wihdah, induk organisasi mahasiswi Indonesia di Mesir. Seorang temannya bernama Farah yang menerima, memberitahukan Nurul baru sepuluh menit tidur, sebab tadi malam ia bergadang di sekretariat Wihdah.
“Tolong, ini sangat mendesak!” paksaku.
Akhirnya beberapa menit kemudian Nurul berbicara,
“Ada apa sih Kak. Tumben nelpon kemari?”
Aku lalu mengutarakan maksudku, meminta bantuannya, agar bisa menerima Noura bersembunyi di rumahnya beberapa hari. Mula-mula Nurul menolak. Ia takut kena masalah. Di samping itu, tinggal bersama gadis Mesir belum tentu mengenakkan. Aku jelaskan kondisi Noura. Akhirnya Nurul menyerah dan siap membantu.
“Begini saja Kak Fahri. Si Noura suruh turun di depan Masjid Rab’ah. Aku dan Farah akan menjemputnya tepat pukul setengah sembilan.”
“Baiklah.”
Hasil pembicaraanku dengan Nurul aku jelaskan pada Tuan Boutros dan Maria. Mereka tersenyum lega. Mereka mengajakku ke atas ke flat mereka untuk menjelaskan segalanya pada Noura. Di ruang tamu rumah Tuan Boutros, Noura menunduk dengan wajah sedih. Ada bekas biru lebam di pipinya yang putih. Matanya memerah karena terlalu banyak menangis. Aku meyakinkan, dia akan aman di tempat Nurul. Mereka semua mahasiswi Al Azhar dari Indonesia yang halus perasaannya dan baik-baik semua. Noura mengucapkan terima kasih atas pertolongan dan meminta maaf karena merepotkan. Kujelaskan di mana dia akan dijemput Nurul dan Farah.
“Biar cepat, kau naik metro sampai Ramsis. Setelah itu naik Eltramco jurusan Hayyul Asyir atau Hayyu Sabe’ yang lewat masjid Rab’ah. Turun di masjid Rab’ah dan cari dua mahasiswi Indonesia. Kau tentu tahu ‘kan muka orang Indonesia. Nurul memakai kaca mata jilbabnya panjang. Farah tidak pakai kaca mata, dia suka jilbab kecil. Ditunggu setengah sembilan tepat. Ini nomor telpon rumahnya,” kataku sambil menyerahkan selembar kertas bertuliskan nomor telpon dan selembar uang dua puluh pound. “Terimalah untuk ongkos perjalanan dan untuk menelpon kalau ada apa-apa.”
Noura terlihat ragu.
“Jangan ragu. Aku tidak bermaksud apa-apa. Kita ini satu atap dalam payung Al Azhar. Sudah selayaknya saling menolong,” kataku meyakinkan.
“Noura, terimalah. Fahri ini orang yang baik. Dia hafal Al-Qur’an. Apa kamu tidak percaya dengan orang yang hafal Al-Qur’an?” ucap Maria meyakinkan Noura.
Akhirnya Noura mau menerima kertas dan uang dua puluh pound itu dengan mata berlinang. Bibirnya bergetar mengucapkan rasa terima kasih. Pagi itu juga Noura pergi ke Nasr City dengan langkah gontai. Saat menatap Maria ia mengucapkan rasa terima kasih dan berusaha tersenyum.
* * *
Pukul sembilan Nurul menelpon, Noura sudah berada di tempatnya. Dia minta saya datang, sebab ada seorang anggota rumahnya yang belum bisa menerima Noura tinggal di sana. Terpaksa saat itu juga aku meluncur ke Nasr City. Sampai di sana aku menjelaskan panjang lebar apa yang menimpa Noura. Aku jelaskan penderitaannya seperti yang telah berkali-kali aku lihat. Tentang ayahnya, ibunya dan kakak perempuannya yang tiada henti menyiksa fisik dan batinnya. Tentang betapa baiknya keluarga Maria dan betapa dewasanya mereka menyarankan agar Noura tinggal di rumah orang yang seiman dengannya agar lebih at home. Mendengar itu semua mereka menitikkan air mata dan siap menerima Noura.
Dari Nasr City aku langsung ke kampus Al Azhar di Maydan Husein. Langsung ke syu’un thullab dirasat ulya.54 Mereka mengucapkan selamat atas kelulusanku. Aku diminta segera mempersiapkan proposal tesis. Setelah itu aku ke toko buku Dar El-Salam yang berada di sebelah barat kampus, tepat di samping Khan El-Khalili yang sangat terkenal itu. Untuk melihat buku-buku terbaru Dar El-Salam adalah tempat yang paling tepat dan nyaman. Buku terbaru Prof. Dr. M. Said Ramadhan El-Bouthi menarik untuk dibaca. Kuambil satu.
Keluar dari Dar El-Salam matahari sudah sangat tinggi mendekati pusar langit. Udara sangat panas. Tak jauh dari Dar El-Salam ada penjual tamar hindi. Aku tak bisa mengekang keinginanku untuk minum. Satu gelas saja rasanya luar biasa segarnya. Aku pulang lewat Attaba. Aku teringat jadwal belanja. Kusempatkan mampir di pasar rakyat Attaba. Dua kilo rempelo ayam, satu kilo kibdah dan dua kilo suguq56 kukira cukup untuk lauk beberapa hari.
Begitu masuk mahattah metro, azan zhuhur berkumandang. Dalam perjalanan, panas matahari kembali memanggang. Sampai di rumah pukul dua kurang seperempat. Aku masuk kamar dengan ubun-ubun kepala terasa mendidih. Musim panas memang melelahkan. Sampai di flat aku langsung teler. Telentang di karpet dengan dada telanjang menikmati belaian hawa sejuk yang dipancarkan kipas angin kesayangan yang membuatku terlelap sesaat.
Dalam lelap, aku melihat Noura di pucak Sant Catherin, Jabal Tursina. Ia melepas jilbabnya, rambutnya pirang, wajahnya bagai pualam, ia tersenyum padaku. Aku kaget, bagaimana mungkin Noura berambut pirang, padahal ayah dan ibunya mirip orang Sudan. Hitam dan rambutnya negro. Aku menatap Noura dengan heran. Lalu Nurul datang. Ia menangis padaku, lalu marah-marah pada Noura. Aku terbangun membaca ta’awudz dan beristighfar berkali-kali. Jam setengah tiga. Aku belum shalat. Setan memang suka memanfaatkan kelemahan manusia. Tak pernah merasa kasihan. Untung waktu zhuhur masih panjang. Aku beranjak untuk shalat.
Usai shalat aku kembali menelentangkan badan. Kali ini di atas tempat tidur, entah kenapa kepalaku terasa nyut-nyut. Atau mungkin karena kelelahan dua hari ini. Mimpi bertemu Noura masih ada dipikiran. Juga Nurul, kenapa ia menangis dan marah. Apakah ini hanya kebetulan, atau jangan-jangan betulan. Aku jarang sekali bermimpi yang bukan-bukan. Mimpi bertemu perempuan bagiku adalah mimpi yang bukan-bukan. Aku masih bisa menghitung berapa kali aku bermimpi bertemu perempuan. Tak ada sepuluh kali. Semuanya bertemu perempuan yang satu, yaitu ibuku. Kali ini aku bertemu Noura yang memperlihatkan rambutnya yang pirang dan Nurul yang menangis dan marah. Yang kupikirkan adalah Nurul. Apakah Nurul sejatinya menerima kehadiran Noura dengan terpaksa. Hatiku tidak tenang. Aku bangkit. Tidak jadi tidur lagi. Kutelpon Nurul.
“Tidak ada acara Nur?”
“Sore ini tidak ada Kak. Jadwalnya istirahat.”
“Bagaimana dengan Noura?”
“Baik. Dia sekarang sedang tidur di kamarku. Benar katamu Kak, dia memang patut di kasihani. Punggungnya penuh luka cambuk.”
“Benarkah?”
“Ya.”
“Apa dia sudah bercerita banyak pada kalian?”
“Belum. Masih dalam taraf mencoba saling kenal. Tapi dia tidak tahan merasakan sakit di punggungnya akhirnya dia sedikit bercerita kalau ayahnya suka mencambuknya dengan ikat pinggang. Ayah yang kejam!”
“Sudah dibawa ke dokter?”
“Belum, rencananya nanti sore.”
“Nur, boleh aku tanya sedikit. Ini soal pribadi.”
“Apa itu Kak?”
“Apa kau sedang marah?”
“Marah kenapa?”
“Karena Noura. Apa kalian menerimanya dengan terpaksa?”
“Jangan suudhan pada saya dan teman-teman Kak. Keberadaan Noura di sini tidak ada masalah kok. Kenapa sih Kakak terlalu berprasangka begitu?”
“Ya aku kuatir saja kalian merasa terganggu dan direpotkan.”
“Nggak. Nggak apa-apa. Sure nggak apa-apa. Jangan kuatir!”
“Syukran kalau begitu.”
“Afwan.”
Benar, tadi itu yang datang dalam lelapku dari setan.
Nurul tidak apa-apa.
Suaranya juga bening ceria seperti biasa. Tidak ada rasa jengkel atau marah sedikit pun. Sekarang Noura berambut pirang. Benarkah? Selama ini aku tidak pernah melihat Noura lepas jilbab. Dari mana aku akan cari info. Tanya pada ibu atau kedua kakaknya, gila apa. Tanya Maria. Ya Maria, mungkin dia tahu. Aku balik ke kamar. Mengambil handphone dan mengirim pesan pada Maria.
“Maria boleh tanya?”
Lima menit kemudian,
“Boleh. Tanya apa?”
“Jangan kaget ya? Mungkin pertanyaan aneh.”
“Apa itu?”
“Apa Noura berambut pirang?”
“Pertanyaanmu memang aneh. Jawabnya ya, dia berambut pirang. Kenapa kau tanyakan itu?”
“Ingin tahu saja. Tapi jika dia berambut pirang memang aneh.”
“Aneh bagaimana? Orang Mesir biasa berambut pirang.”
“Bukan itu maksudku. Bukankah ayah dan ibunya seperti orang Sudan? Hitam dan berambut negro?”
“Kau ingin mengatakan Noura bukan anak mereka.”
“Entahlah. Ini hanya firasat.”
“Tapi firasatmu mungkin ada benarnya.”
“Hanya Tuhan yang tahu.”
Aku kembali menelentangkan badan di atas kasur. Saatnya tidur. Baru dua detik mata terpejam, handphoneku menjerit. Nomor tak kukenal. Siapa ya? Kuangkat,
“Assalamu’alaikum.”
Suara bening perempuan. Logatnya agak aneh. Siapa ?
“Wa ‘ailakumussalam. Ini siapa ya?” jawabku balik bertanya.
“Sind Sie Herr Fahri?” Dia malah balik bertanya dengan bahasa Jerman. Aku langsung teringat perempuan bercadar biru muda yang kemarin bertemu di dalam metro. Dia pasti Aisha.
“Ja. Sie Aisha?” jawabku dengan bahasa Jerman.
“Ja. Herr Fahri, haben Sie zeit?” Pertanyaannya mengandung maksud mengajak bertemu.
“Heute?”
“Ja. Heute, ba’da shalat el ashr.”
Aku ingin tertawa mendengar dia mencampur bahasa Jerman dengan bahasa Arab. Tapi memang tepat. Kata-kata shalat sejatinya susah diterjemahkan ke dalam bahasa lain secara pas.
“Nein danke, heute ba’da shalat el ashr habe ich leider keine Zeit! Ich habe schon eine verabredung!” Maksudku adalah janji pada jadwal untuk menerjemah.
Aisha lalu menjelaskan ia ingin bertemu denganku secepatnya. Ia minta aku bisa meluangkan sedikit waktu. Karena sangat penting. Berkaitan dengan Alicia yang katanya ingin berbincang seputar Islam dan ajaran moral yang dibawanya. Alicia ingin sekali bertanya banyak hal padaku sejak kejadian di atas metro itu. Aisha memohon dengan sangat, sebab menurutnya ini kesempatan yang baik untuk menjelaskan Islam yang sebenarnya pada orang Barat. Aisha mengatakan Alicia seorang reporter berita. Ia wartawan dan ini kesempatan emas. Mau tak mau aku mengiyakan dan menawarkan bagaimana jika bertemu besok. Ia senang sekali mendengarnya. Kami membuat kesepakatan bertemu di mahattah metro bawah tanah Maydan Tahrir tepat jam setengah sebelas. Aku minta padanya untuk datang tepat waktu. Ia tertawa. Sedikit ia meledek, bukankah seharusnya dia yang meminta padaku untuk datang tepat waktu. Aku tersenyum kecut. Memang orang Indonesia terkenal jam karetnya. Aku tidak sangka kalau orang seperti Aisha tahu akan hal itu. Aku tidak perlu bertanya padanya dari mana ia tahu itu. Sebuah pertanyaan bodoh di dunia global seperti sekarang ini. Bukankah dengan kecanggihan teknologi jarum jatuh di pelosok Merauke sana bisa terdengar sampai ke New York dan ke seluruh penjuru dunia?
Aku langsung menulis janji bertemu Aisha pada planning kegiatan esok hari. Ternyata padat. Besok jadwal khutbah di masjid Indonesia. Berarti nanti malam mempersiapkan bahan khutbah. Pagi diketik dan langsung di-print. Lantas istirahat. Tidak ke mana-mana. Tidak juga sepak bola. Untak stamina khutbah. Kalaupun ingin melakukan sesuatu lebih baik menerjemah beberapa halaman. Jam sembilan berangkat. Sampai di Tahrir kira-kira jam sepuluh. Kalau misalnya metro sedikit terlambat, aku bisa tetap datang tepat waktu. Lantas berbincang dengan Aisha dan Alicia sampai jam sebelas. Setelah itu pergi ke Dokki untuk khutbah. Aku harus datang di awal waktu biar tidak gugup. Begitu rencananya. Jika tidak dibuat outline yang jelas seperti itu akan membuat hidup tidak terarah dan banyak waktu terbuang percuma.
Kulihat kalender. Melihat kalender adalah hal yang paling kusuka. Karena bagiku dengan melihatnya optimisme hidup itu ada.
Jum’at tanggal sembilan dan Sabtu tanggal sepuluh. Ada tanda pada tanggal sepuluh. Hmm..kapan aku memberi tanda dan untuk apa? Jangan-jangan aku ada janji dengan seseorang. Aku berusaha mengingat-ingat. Rancangan kegiatan satu bulan aku lihat. Juga tidak ada janji khusus. Terus itu tanda apa ya? Hari Minggunya, tanggal sebelas juga ada tanda yang sama. Dua hari berturut-turut. Aku teringat sesuatu. Ya itu tanda yang aku bubuhkan tiga bulan lalu begitu tahu tanggal lahir seluruh keluarga Tuan Boutros. Aku berniat memberikan hadiah untuk mereka, tepat di hari ulang tahun mereka. Madame Nahed, ibunya Maria, ulang tahun tanggal 10 Agustus. Si Yousef adik lelaki Maria tanggal 11 Agustus, satu hari setelah ibunya. Sedangkan Tuan Boutros 26 Oktober, dan Maria 24 Desember. Tanggal-tanggal itu telah aku beri tanda. Aku paling suka memberi kejutan pada teman atau kenalan. Teman satu rumah sudah mendapatkan hadiah mereka pada hari istimewa mereka. Berarti besok kegiatannya bertambah satu, mencarikan hadiah untuk Madame Nahed dan Yousef. Hadiah yang sederhana saja. Sekadar untuk memberikan rasa senang di hati tetangga. Tiba-tiba aku berpikir ingin memberikan hadiah pada Si Muka Dingin Bahadur, ayah Noura yang mirip orang Sudan itu. Apa reaksinya kira-kira?
* * *
0 comments:
Post a Comment