RSS

Novel: Ayat-Ayat Cinta (Bahagian 8)

8. Getaran Cinta


Setelah shalat shubuh aku tidak langsung pulang, tapi menemui Syaikh Ahmad. Kukabarkan pada beliau kelulusanku dan rencanaku membuat proposal tesis. Imam muda berhati lembut itu mengecup kepalaku berkali-kali. Begitulah cara orang Arab memberikan tanda penghormatan yang tinggi. Penghormatan orang yang dianggap sangat dekat. Dari bibirnya keluar ucapan selamat dan doa tiada henti. Beliau bahkan menawarkan agar jika naskah proposal selesai kususun diserahkan terlebih dahulu padanya untuk dilihat bahasanya. Jika ada gaya bahasa yang mungkin kurang tepat beliau akan mentashihnya. Aku sangat senang mendengarnya. Barulah aku jelaskan padanya kisah derita Noura panjang lebar dan mendetail seperti yang aku lihat dan aku ketahui. Beliau menitikkan air mata mendengarnya.

“Di Mesir ini, banyak sekali orang mengakui muslim tapi akhlaknya tidak muslim. Mengaku Islam tapi sangat jauh dari cahaya Islam. Bagaimana mungkin seorang ayah yang mengaku umat Muhammad bisa begitu kejam pada anaknya, pada seorang gadis yang semestinya dia lindungi dan dia sayangi. Fahri, menghantarkan kesejukan ruh Islam ke dalam hati semua pemeluknya memang tidak semudah membalik kedua telapak tangan. Tapi kita tidak boleh berpangku tangan, apalagi berputus asa. Sebisa kita, kita harus terus berusaha,” kata Syaikh Ahmad sambil menarik nafas.

“Tidak hanya di Mesir saja Syaikh, di Indonesia juga ada. Bahkan di Indonesia lebih parah. Ada lelaki yang meniduri anak gadisnya dengan paksa. Lebih parah lagi ada yang tega menjual isteri dan anak gadisnya pada lelaki hidung belang. Setan memang ada di mana-mana. Dengan segala tipu dayanya, setan selalu berusaha membutakan hati manusia sehingga mereka beranggapan tindakan yang keji menjadi terpuji.”

“Laa haula wa laa quwwata illa billah!” ucap Syaikh Ahmad sambil memejamkan mata. Beliau lalu menepuk pundakku dan mengatakan dirinya akan terjun langsung membantu Noura secepatnya. Sebelum musim masuk sekolah tiba derita Noura harus diakhiri. Syaikh Ahmad berterima kasih atas segala yang telah kami lakukan. Beliau meminta agar jam sembilan nanti aku mengantarkan beliau menemui Noura di Nasr City. Beliau hendak mengambil Noura dan menempatkannya di tempat yang aman. Menurut beliau jika sampai nanti ayahnya tahu Noura berada di tempat mahasiswi Indonesia akan membuat masalah. Kasihan para mahasiswi jika terganggu belajarnya. Noura harus secepatnya dipindahkan ke tempat yang tepat. Kami sepakat untuk bertemu di depan mahattah Hadayek Helwan.

Aku segera pulang dan menelpon Nurul, memberitahukan rencana Syaikh Ahmad. Aku minta padanya untuk tidak pergi. Sekitar pukul sepuluh, kami insya Allah, sampai. Tepat pukul sembilan aku sampai di tempat yang dijanjikan. Syaikh Ahmad telah menunggu di dalam mobil Fiat tuanya. Seorang wanita berjilbab panjang duduk di samping beliau. Syaikh Ahmad memang hidup sederhana meskipun kata masyarakat beliau orang berada. Isteri beliau seorang dokter yang membuka praktek di Helwan dan membantu orang tidak mampu dengan membuka praktek di klinik masjid. Syaikh Ahmad mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang.

Pukul sepuluh lebih sepuluh kami sampai di kediaman Nurul dan kawan-kawannya yang berada di tingkat enam. Para mahasiswi itu dipeluk oleh isteri Syaikh Ahmad dengan penuh kehangatan. Ketika memeluk Noura, isteri Syaikh Ahmad menangis tersedu-sedu. Berkali-kali ia mencium pipi gadis innocent itu. Syaikh Ahmad menjelaskan maksud kedatangan dia dan isterinya. Semuanya mengerti termasuk Noura. Noura akan dibawa ikut serta ke kampung halaman Syaikh Ahmad. Ke rumah orang tua Syaikh Ahmad di desa Tafahna El-Ashraf, Zaqaziq. Noura menurut. Setelahlah Noura siap terjadilah perpisahan yang mengharukan. Nurul dan teman-temannya terisak dan bergantian memeluk Noura. Noura juga menangis sambil mengucapkan terima kasih tak terhingga. Nurul bilang pada Noura, “Noura kau juga harus mengucapkan terima kasih tiada terhingga pada Akh Fahri.”

Noura menatapku sekilas dengan mata berkaca lalu menunduk dan dengan suara lirih dia menyampaikan rasa terima kasih dari hati yang terdalam. Kalau dia adikku pasti sudah kupeluk dengan penuh rasa sayang. Aku hanya mengangguk dan membesarkan hatinya bahwa Syaikh Ahmad dan isterinya akan membukakan jalan yang baik baginya. Mereka berdua orang-orang yang baik dan berhati lembut. Agar tidak mencurigakan, Noura diminta Syaikh Ahmad memakai cadar. Nurul dan teman-temannya diminta tidak turun ke bawah. Cukup melihat dari jendela saja. Kami berempat turun. Syaikh Ahmad masuk mobil diikuti isteri dan Noura. Aku mengucapkan salam dan selamat jalan. Kali ini Noura memandang diriku agak lama. Aku tidak tahu apa yang ada di dalam hatinya. Aku terus berdoa semoga ia terbebas dari derita yang membelenggunya. Aku kembali ke Hadayek Helwan dengan hati lega. Syaikh Ahmad akan mengurus segalanya.


* * *


Sampai di rumah aku langsung melihat jadwal. Aku harus talaqqi ke Shubra. Aku mencela diriku sendiri kenapa setelah dari Rab’ah El-Adawea tadi tidak langsung ke Shubra saja. Namanya juga lupa. Telpon berdering. Nurul menelpon menanyakan bagaimana dengan uang yang telah aku berikan padanya. Padahal Noura hanya beberapa hari tinggal di rumahnya dan uang yang aku berikan padanya nyaris belum digunakan untuk apa-apa. Aku bilang tidak usah dipikirkan dan dikembalikan, terserah mau diapakan yang penting untuk kebaikan. Nurul dan teman-temannya orang yang jujur dan amanah. Keuangan negara tidak akan bocor jika ditangani oleh orang-orang seperti mereka. Aku salut padanya. Tiba-tiba aku teringat ledekan Si Rudi kemarin, ‘Jangan-jangan dia orangnya!... . Congratulation Mas. She is the star, she is the true coise, she will be a good wife!’.

Ah, tidak mungkin! Kutepis jauh-jauh pikiran yang hendak masuk. Memiliki isteri shalihah adalah dambaan. Tapi..ah, aku ini punguk dan dia adalah bulan. Aku ini gembel kotor dan dia adalah bidadari tanpa noda. Aku melangkah mengambil air wudhu. Tadi pagi aku baru membaca seperempat juz, aku harus menyelesaikan wiridku. Nanti habis zhuhur aku harus ke Shubra. Syaikh Utsman kurang berkenan jika ada hafalan yang salah, meskipun satu huruf saja.

Aku membukal mushaf. Handphone-ku berdering. Ternyata Aisha. Dia mengingatkan janji bertemu dengan Alicia di National Library. Aku mengucapkan terima kasih telah diingatkan. Dan siang itu aku kembali menantang panas sahara untuk mengaji Al-Qur’an di Shubra yang jauhnya kira-kira lima puluh kilo dari apartemenku. Hadayek Helwan tempat aku tinggal ada di ujung selatan kota Cairo sementara Shubra ada di ujung utara. Menjelang maghrib aku baru pulang dengan ubun-ubun kepala seperti kering tanpa ada darah mengalir di sana, telah menguap sepanjang siang. Aku benar-benar capek. Satu hari ini melakukan perjalanan hampir sejauh seratur kilo meter. Pagi bolak-balik Hadayek Helwan-Nasr City. Habis zhuhur bolak-balik Hadayek Helwan-Shubra.

Ba’da shalat maghrib aku merasa kepalaku tak bisa diangkat. Terasa berat dan sakit. Aku panggil Saiful, aku minta padanya untuk mengompres kepalaku. Saifu menempelkan telapak tangannya ke keningku, “Panas sekali Mas.”

Ia lantas bergegas memenuhi permintaanku. Saiful duduk disampingku sambil memijat kedua kakiku. Dia tahu persis apa yang kulakukan seharian ini. Hamdi ikut serta memijat-mijat. Teman-teman memang sangat baik dan perhatian. Kami sudah seperti saudara kandung. Seandainya Mishbah dan Rudi datang keduanya pasti juga ikut menunggui atau membelikan buah yang kusuka. Mishbah kembali ke Wisma untuk urusan pelatihannya. Dan Rudi pergi ke sekretariat Kelompok Studi Walisongo atau KSW dia mewakili Himpunan Mahasiswa Medan atau HMM untuk membicarakan kerjasama mengadakan tour ke tempat-tempat bersejarah di Mesir.

Bel berbunyi. Yousef mencari aku. Hamdi membawanya masuk ke kamarku. Yousef menyentuh tanganku. Ia ragu mengatakan sesuatu. Ia tersenyum dan mendoakan semoga tidak apa-apa dan segera pulih lalu kembali ke rumahnya. Tak lama kemudian bel kembali berbunyi. Hamdi beranjak membukanya. Hamdi melongok di pintu kamar dan bilang, “Tuan Boutros sekeluarga Mas. Bagaimana? Apa mereka boleh masuk kemari?”

Kalau kepalaku tidak seberat ini aku pasti keluar menemui mereka. Aku mengisyaratkan pada Hamdi agar mempersilakan mereka masuk. Pak Boutros masuk membawa satu botol madu. Madame Nahed membawa peralatan dokternya. Dan Maria membawa nampan entah apa isinya. Tuan Boutros menyentuh pipiku.

“Panas. Nahed, coba kau periksa!” katanya pada isterinya.

Madame Nahed meminta izin padaku untuk memeriksanya. Sambil memasang tekanan darah di lengan kananku, dia menanyakan apa yang kurasakan. Kujelaskan semua dengan pelan. Saiful memberitahukan diriku melakukan perjalanan panjang di tengah terik siang, dari pagi sampai sore.

“Agaknya kau terlalu memforsir dirimu. Banyak-banyaklah istirahat. Ada gejala heat stroke. Kau harus minum yang banyak dan makan buah-buahan yang segar. Istirahatlah dulu, jangan bepergian menantang matahari!” kata Madame Nahed lembut.

“Heat stroke itu apa, Madame?” tanya Saiful.

“Heat stroke adalah sengatan panas, yaitu penyakit yang terjadi akibat penumpukan panas yang berlebihan di dalam badan yang ditimbulkan oleh keadaan cuaca panas. Tapi tidak usah kuatir baru gejala,” jawab Madame Nadia. Dia lalu menulis resep dan minta puteranya Yousef untuk keluar membelinya. “Cepat ya. Sama ashir mangga!”

“Yousef, sebentar!” ujarku. Kepalaku semakin berat. “Tolong Saif ambilkan uang di dompetku. Ada di lemari. Saiful mengambil uang seratus pound dan menyerahkan pada Yousef. Tapi Tuan Boutros mencegahnya. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Yousef keluar. Maria mendekat.

“Fathi, ini aku buatkan ruz billaban untukmu,” lirih Maria.
“Lha untuk kami mana? Masak untuk Akh Fahri saja,” sahut Hamid.
“Maksudku juga untuk kalian,” ucap Maria agak tersipu. Maria meletakkan nampan berisi ruz billaban di atas meja belajarku. Saat itu kulihat dia memandang dua lembar kertas karton besar yang menempel di depan meja belajar.
“Oi Farhi, apa ini? Rancangan hidupmu? Sepuluh tahun ke depan. Dan planning tahun ini,” katanya setengah kaget.
“Maria, jangan kau baca! Aib!” Madame Nahed mengingatkan.
“Biarkan. Nggak apa-apa!” kataku.
Yang kutempel memang arah hidup sepuluh tahun ke depan. Target-target yang harus kudapat dan apa yang harus kulakukan. Lalu peta hidup satu tahun ini. Ku tempel di depan tempat belajar untuk penyemangat. Dan memang kutulis dengan bahasa Arab.
“Wow. Targetmu dua tahun lagi selesai master. Empat tahun berikutnya selesai doktor dan telah menerjemah lima puluh buku serta memiliki karya minimal lima belas karya. Dan empat tahun berikutnya atau sepuluh tahun dari sekarang targetmu adalah guru besar. Fantastik. Hai Fahri kapan rencanamu kawin. Kenapa tidak kau tulis dalam peta hidupmu?” celoteh Maria. Madame Nahed geleng-geleng kepala.
“Baca yang teliti!” lirihku.
Maria membaca dengan teliti, tak lama kemudian ia berkata, “Okey aku setuju. Ketika kau menulis tesis magister. Ya, untuk menemani perjuanganmu yang melelahkan!”

“Berarti sudah dekat. Mungkin tahun ini mungkin tahun depan. Karena dia sudah lulus ujian dan sudah diminta universitas membuat proposal tesis.” sahut Saiful. Serta merta Tuan Boutros, Madame Nahed, dan Maria mengucapkan selamat. Mereka senang mendengar aku mulai menulis tesis. Madame Nahed menanyakan apa aku sudah ada calon. Kepalaku nyut-nyut. Kupaksakan untuk tersenyum. Lalu aku bergurau, “Kebetulan tidak ada gadis yang mau dekat denganku. Tak ada yang mau mengenalku dan baik denganku. Yang baik padaku malah Maria. Bagaimana Madame, kalau calonnya Maria?”

Madame Nahed tersenyum, “Boleh saja. Tapi kusarankan tidak sama dia, dia gadis yang kaku. Beda dengan dirimu yang kulihat bisa romantis, bisa membuat kejutan-kejutan yang menyenangkan. Kemarin dalam perjalanan pulang kami mendapat cerita yang banyak tentang dirimu dari Rudi. Dia bercerita tentang kesan-kesannya padamu. Dia juga menjelaskan sesungguhnya yang merancang dan membelikan hadiah ulang tahun untukku dan untuk Yousef itu kamu. Aku takut kau kecewa dapat Maria. Dia gadis manja dan kaku. Saya tak tahu dia bisa romantis apa tidak. Dia itu gadis yang tidak pernah jatuh cinta. Tak suka dikunjungi teman lelaki. Tak suka diajak pergi kencan. Kau harus mendapatkan gadis yang bisa mengimbangi kelembutan hatimu dan kekuatan visimu mengarungi hidup. Kulihat kau pemuda yang sangat berkarakter dan kuat memegang prinsip namun penuh toleransi. Kau jangan sembarangan memilih pasangan hidup, itu saran dari Madame.”

“Terima kasih Madame atas sarannya, doakan saja.” jawabku. Kulirik Maria. Sesaat mukanya merona tapi ia segera dapat menguasai dirinya.

“Fahri, kenapa sih kau buat peta hidup ke depan segala, bukankah hidup ini enaknya mengalir bagaikan air?” tanya Maria.

Kepalaku sebenarnya semakin nyut-nyut tapi aku selalu tidak bisa membiarkan kecewa orang yang bertanya padaku.

“Maaf, setiap orang berbeda dalam memandang hidup ini dan berbeda caranya dalam menempuh hidup ini. Peta masa depan itu saya buat terus terang saja berangkat dari semangat spiritual ayat suci Al-Qur’an yang saya yakini. Dalam surat Ar Ra’ad ayat sebelas Allah berfirman, Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah nasibnya. Jadi nasib saya, masa depan saya, mau jadi apa saya, sayalah yang menentukan. Sukses dan gagalnya saya, sayalah yang menciptakan. Saya sendirilah yang mengaristeki apa yang akan saya raih dalam hidup ini.”

Belum selesai aku bicara Maria menyela, “Kalau begitu di mana takdir Tuhan?”

“Takdir Tuhan ada di ujung usaha manusia. Tuhan Mahaadil, Dia akan memberikan sesuatu kepada umat-Nya sesuai dengan kadar usaha dan ikhtiarnya. Dan agar saya tidak tersesat atau melangkah tidak tentu arah dalam berikhtiar dan berusaha maka saya membuat peta masa depan saya. Saya suka dengan kata-kata bertenaga Thomas Carlyle: ‘Seseorang dengan tujuan yang jelas akan membuat kemajuan walaupun melewati jalan yang sulit. Seseorang yang tanpa tujuan, tidak akan membuat kemajuan walaupun ia berada di jalan yang mulus!’ Peta hidup ini saya buat untuk mempertegas arah tujuan hidupku sepuluh tahun ke depan. Ini bagian dari usaha dan ikhtiar dan setelah itu semuanya saya serahkan sepenuhnya kepada Tuhan.”

Maria mengangguk-anggukkan kepala.

“Apa kubilang, Fahri seorang visioner yang tegas. Tidak seperti dirimu Maria, hidup manja tanpa visi. Kau ini sudah berada di jalan yang mulus. Dikaruniai otak yang cerdas, hidup berkecukupan, disayang keluarga. Tapi kau tidak akan membuat kemajuan tanpa visi yang jelas.” sahut Madame Nahed.

Aku tidak enak mendengarnya. Aku tidak tahu seperti apa wajah Maria, mungkin memerah karena malu mendapat teguran dari ibunya yang ceplas-ceplos seperti itu. Aku memejamkan kepala merasakan rasa nyeri di dalam tempurung kepalaku.

Tuan Boutros menanyakan kemana Rudi dan Mishbah, keduanya tidak kelihatan. Hamdi menjelaskan dengan rinci. Pembicaraan lalu beralih kepada Hamdi dan Saiful. Aku mendengarkan dengan mata terpejam. Tangan Saiful masih memijit kakiku. Tak lama kemudian Yousef datang membawa obat dan satu botol ashir mangga. Madame Nahed memberikan petunjuk cara meminum obatnya. Berapa hari sekali. Dia berpesan agar aku istirahat dulu sampai pulih kembali. Mereka lalu pamitan. Saat mau pergi Maria berkata, “Syukran Fahri, aku mendapatkan ilmu yang mahal sekali. Benar kata pepatah dekat dengan penjual minyak akan mendapatkan wanginya.”

Setelah mereka kembali ke flatnya, aku makan ruz billaban pemberian Maria. Enak. Lalu minum obat dan bersiap tidur. Aku telah meminta Hamdi menyetel beker jam tiga. Aku bersyukur memiliki teman-teman yang baik dan tetangga yang baik. Saiful memijat-mijat diriku sampai aku terlelap. Dalam tidur aku mendengar Maria menangis. Air matanya membasahi kakiku. Jam tiga aku terbangun. Heran dengan mimpiku. Sebelum tidur aku sudah baca shalawat dan doa. Aku tak tahu mimpi itu tafsirnya apa. Kalau Ibnu Sirin masih hidup tentu aku tanyakan padanya. Aku beristighfar berkali-kali memohon ampunan kepada Allah jika guyonanku pada Madame Nahed tadi tidak semestinya aku lakukan. Jangan-jangan menyakiti hati Maria. Aku bangkit. Kepalaku terasa lebih ringan. Aku tadi memang kepanasan dan kelelahan. Ya Allah, kulihat Saiful tidur di karpet. Ia begitu setia menunggui aku. Ana uhibbuka fillah ya Akhi!76 Aku harus shalat Isya. Malam terasa sunyi. Aku teringat ayah bunda di kampung sana, di tanah air tercinta. Terbayang mata bening bunda.

selalu saja kurindu
abad-abad terus berlalu
berjuta kali berganti baju
nun jauh di sana mata bening menatapku haru
penuh rindu
mata bundaku
yang selalu kurindu

Dalam sujud kumenangis kepada Tuhan, memohonkan rahmat kesejahteraan tiada berpenghabisan untuk bunda, bunda, bunda dan ayahanda tercinta. Usai shalat Isya dan Witir aku tidur lagi. Aku bermimpi lagi. Bertemu ayah ibu, berpelukan dan menangis haru.


* * *


Pagi hari aku merasa segar kembali. Aku melihat jadwal. Ada janji di National Library. Kalau tak ada janji sebenarnya aku ingin istirahat saja. Kasihan tubuh ini, kepanasan setiap hari. Tapi janji harus ditepati. Meskipun harus merangkak akan aku jalani. Janjinya jam sebelas. Aku harus berangkat jam sepuluh masih ada tiga jam. Lumayan untuk mengejar terjemahan.

Pukul sepuluh aku berangkat. Matahari sudah mulai menyengat. Sampai di halaman Maria memanggil namaku dari jendelanya. Ia mengingatkan agar aku tidak pergi. Kukatakan padanya aku ada janji. Aku harus menepatinya meskipun untuk itu aku harus mati. Untung aku dapat tempat duduk. Lebih baik daripada berdiri. Di tengah perjalanan seorang pemuda Mesir memakai jubah lusuh naik. Ia membawa karung. Entah apa isinya. Sampai di dalam metro membuka karungnya. Mengeluarkan boneka panda. Ia menawarkan pada penumpang barang dagangannya. Boneka dan mainan anak-anak. Ia menawarkan dari ujung ke ujung. Ia bilang harga promosi jauh lebih murah dari yang di toko resmi. Tak ada yang beli. Ia mendekatiku dan menawatkan boneka panda itu padaku. Kukatakan padanya aku belum punya anak. Penjual mainan itu menjawab, “Belilah, kudoakan kau mendapatkan isteri yang shalihah dan cantik seperti bidadari dan memiliki anak yang shalih shalihah, juga kudoakan umurmu berkah rizkimu melimpah sehingga kau dan anak cucumu tidak akan perlu berjualan di jalan seperti diriku. Belilah untuk penyemangat hidupku!”

Siapa yang tidak terenyuh mendengar kata-kata penuh muatan doa seperti itu. Hatiku luluh. Aku akhirnya membeli boneka panda dan pistol air. Cuma sepuluh pound. Boneka enam pound dan pistol airnya empat pound. Pemuda itu tampak berbinar matanya, ia mengucapkan terima kasih. Setelah aku membeli ada seorang ibu setengah baya tertarik dan membeli.

Aku memandangi boneka panda warna coklat dan putih di tanganku. Boneka yang cantik. Kepada siapa akan kuberikan? Aku tersenyum sendiri. Biar nanti kugantung di atas tempat tidur. Pemuda itu masih di dalam metro ia belum turun. Mungkin turun di mahatah depan. Keringatnya bercucuran. Aku teringat masa kecilku ketika aku masih SD. Kami keluarga susah. Kakek hanya mewariskan sepetak sawah, kira-kira luasnya setengah bahu. Dibagi dua dengan adil untuk ayah dan paman. Ayah tidak sekolah, dia hanya sampai kelas tiga sekolah SR. Hanya bisa baca dan menulis saja. Demikian juga dengan ibu. Lain dengan paman. Dia disekolahkan oleh kakek dengan bantuan ayah sampai SPG. Dia jadi guru. Karena paman sudah disekolahkan maka rumah kakek diberikan kepada ayah. Selama paman sekolah ayahlah yang menggarap sawah untuk membiayai paman. Dan paman sangat pengertian, sebenarnya dia tidak minta apa-apa. Apa yang dia punya sudah cukup. Dia kebetulan mendapatkan isteri teman sekolahnya, anak penilik sekolah jadi lebih tercukupi. Tapi ayah tetap meminta kepada paman agar sawah sepetak itu dibagi dua. Paman tidak boleh menolaknya. Akhirnya yang kami punya adalah rumah peninggalan kakek yang sangat sederhana dan sawah seperempat bahu. Apa yang bisa diharapkan dari sawah setengah bahu. Ayah tetap menggarap sawah itu dengan menanam padi. Hasilnya di makan sendiri. Untuk keperluan lain ibu jualan gorengan di pasar dan ayah jualan tape dengan berkeliling dari kampung ke kampung. Jika hari minggu aku diajak ayah ikut serta. Berjalan berkilo-kilo. Jika telah dekat dengan rumah penduduk ayah akan berteriak, ‘Pe tape! Pe tape! Pe tape!’

Jika ayah lelah maka akulah yang bergantian berteriak menawarkan tape. Jika ada yang beli hati senangnya bukan main. Rasa lelah seperti hilang begitu saja. Apalagi jika ada yang memborong sampai belasan bungkus, kami akan merasa menjadi orang paling beruntung di dunia. Mataku basah mengingat itu semua.

Pukul sebelas kurang lima menit aku sampai di National Library. Aku langsung menuju kafetaria. Alicia dan Aisha sudah ada di sana. Alicia tersenyum padaku entah Aisha aku tidak tahu sebab ia bercadar. Mereka telah memesan minuman. Aku pesan segelas karikade dingin. Alicia menyerahkan dua lembar kertas berisi pertanyaannya. Kubaca sekilas. Pertanyaan yang sangat serius. Aku menjanjikan akan menyerahkan jawabannya hari Sabtu, di tempat dan waktu yang sama. Alicia setuju. Kami lalu berbincang-bincang. Alicia banyak bertanya tentang studiku. Aisha bercerita tentang pamannya yang senang sekali mendapatkan salam dariku, dan mengirim salam balik, juga dua keponakannya yang masih ingat padaku. Katanya si Amena menyebutku “Ammu Fahri Al Andonesy!”78 Aisha juga bertanya apakah aku telah berkeluarga? Setelah selesai master apa yang akan aku kerjakan di Indonesia? Apakah aku akan melanjutkan S3? Aku menjawab apa yang bisa kujawab. Sebelum berpisah aku teringat boneka dan pistol air yang aku beli di dalam metro. Kutitipkan pada Aisha untuk keponakannya, Si Amena dan Hasan yang lucu dan menggemaskan. Melihat boneka panda yang cantik mata Aisha membesar dan berkata, “Wow cantik sekali, Amena pasti senang menerimanya dan dia akan terus mengingat pamannya dari Indonesia.”

Aku hanya tersenyum mendengarnya. Sudah setengah tahun aku tidak bertemu dua jundi kecil itu. Amena mungkin sudah hafal juz dua puluh sembilan. Dan Si Hasan sudah bisa membaca tulisan. Aku tidak tahu sama sekali bahwa boneka panda yang aku beli tanpa sengaja itu suatu saat nanti akan membawaku ke kaki langit cinta yang tiada tara indahnya. Kaki langit cinta orang-orang yang bercinta karena Allah Subhanahu wa Ta’ala.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Novel: Ayat-Ayat Cinta (Bahagian 7)

7. Di Cleopatra Restaurant


“Dia benar-benar anak pelacur sial! Dia benar-benar anak setan! Anak tak tahu diuntung. Kalau sampai tampak batang hidungnya akan kurajah-rajah mukanya biar tahu rasa!”

Kami mendengar Si Muka Dingin Bahadur menyumpah serapah dari dalam flatnya dengan suara seperti guntur. Entah ada apa lagi. Lalu kami mendengar suara perempuan membentak tak kalah sengitnya. Ia menyalahkan Si Muka Dingin dan memakinya habis-habisan. Itu mungkin suara Madame Syaima, isteri Si Muka Dingin. Madame Syaima tidak terima dibilang pelacur. Lalu terdengar tamparan dan jeritan. Beberapa barang pecah. Kami berlima sudah sampai di halaman. Baru Yousef yang turun menyusul. Pakaiannya fungky betul. Tuan Boutros, Madame Nahed dan Maria belum turun.

“Maaf ya agak terlambat. Biasa, perempuan dandan dulu,” kata Yousef.

Kami manggut-manggut saja. Tak lama kemudian Tuan Boutros, Madame Nahed dan Maria tampak menuruni tangga apartemen satu persatu. Mereka berjalan mendekati kami. Tuan Boutros tampak lebih muda dari biasanya. Ia memakai kemeja warna krem dengan lengan dilingkis. Madame Nahed berpenampilan seperti aristokrat Perancis. Pafumnya menyengat. Ini yang aku tidak suka. Wanita Mesir kalau memakai parfum seolah harus tercium dari jarak seratus meter. Yang paling menawan tentu saja Maria. Dengan gaun malam merah tua dan menggelung rambutnya ia terlihat sangat cantik. Wajah pualamnya seperti bersinar di kegelapan malam. Mereka benar-benar siap ke pesta. Kami berlima berpakaian biasa saja. Si Rudi malah memakai celana trening warna biru muda. Trening yang terkadang buat main sepak bola. Memang benar-benar seadanya.

Tuan Boutros mengatur siapa yang ikut mobilnya dan siapa yang ikut mobil Yousef. Keluarga itu memang memiliki dua mobil. Jeep Cheroke hijau metalik yang biasa dibawa Tuan Boutos kerja dan sedan forsa hitam yang seringkali dibawa Yousef. Empat orang dari kami ikut mobil Yousef. Madame Nahed dan Maria ikut Tuan Boutros. Aku melangkah ke arah mobil Yousef. Namun Tuan Boutros memanggil, “Fahri, kau ikut aku!”

“Ya, kau naik sini Fahri!” seru Madame Nahed.

Terpaksa aku belok ke mobil Cheeroke. Madame Nahed naik di depan dan duduk di samping Tuan Boutros. Maria di belakang. Masak aku harus duduk di samping Maria. Dan parfumnya itu. Nuraniku tidak setuju. Satu mobil tak apa, tapi selama tempat duduk bisa di atur lebih aman di hati kenapa tidak. Aku mendekati Madame Nahed dan berbicara dengan halus, “Maaf Madame, boleh saya duduk di depan. Saya ingin berbincang-bincang dengan Tuan Boutros selama dalam perjalanan.”

Madame Nahed tersenyum, “Oh ya, dengan senang hati.”

Dia lalu turun dan pindah ke belakang duduk di samping puterinya. Aku naik dan duduk di samping Tuan Boutros. Belum sempat Tuan Boutros menyalakan mesin terdengar suara Si Muka Dingin memanggil dengan suara mengguntur, “Hai Boutros tunggu!”

Kami semua menoleh ke asal suara. Si Muka Dingin datang dengan tergopoh.

“Di mana Noura kau sembunyikan, Boutros!”

Kami berpandangan. Si Muka Dingin telah berdiri di dekat Tuan Boutros. Dengan tenang Tuan Boutros menjawab, “Apa saya tidak memiliki urusan yang lebih penting dari mengurusi anakmu, heh?”
“Kau pasti tahu di mana Noura berada?”

“Siapa yang peduli dengan anakmu?”

“Malam itu sebelum tidur Mona melihat Maria turun menghibur Noura di jalan. Kalian pasti tahu sekarang di mana Noura berada!”
“Malam itu malam itu apa? Aku tidak tahu! Kalau begitu tanya saja sama Maria. Jangan tanya aku!”

“Hai Maria bicara kau! Kalau tidak kusumpal mulutmu dengan sandal!” si Muka Dingin menyalak keras seperti anjing.

Dadaku panas sekali mendengar kalimat Si Muka Dingin yang tidak tahu sopan santun ini. Tuan Boutros kulihat menggerutukkan giginya, ia tentu marah puterinya dibentak kasar begitu, tapi mukanya tetap tenang memandang ke depan. Ia tidak menjawab sepatah kata pun.

“Tuan Bahadur, memang benar, malam itu aku turun menghibur Noura. Tapi Noura tidak bisa dihibur. Ia menangis terus dan tidak berbicara sepatah kata pun padaku. Aku jengkel, lalu ya kutinggal dia. Setelah itu aku tidak tahu kemana dia. Kukira dia kembali ke rumah Anda.”

“Hmm... jadi begitu. Anak itu memang keras kepala dan menjengkelkan bukan? Kau saja dibuat jengkel. Aku ayahnya dibuat jengkel setiap hari. Kalau ketemu akan kubunuh anak itu biar tidak membuat jengkel lagi!”

“Sudah cukup bicaramu Bahadur? Kami ada urusan!” Kata Tuan Boutros.

Si Muka Dingin tidak menjawab. Ia hanya pergi begitu saja sambil mengepalkan tinjunya, ia mendesis “Kalau kembali anak itu akan kukuliti biar tahu rasa!”

“Puji pada Tuhan, Si Brengsek itu tidak macam-macam.” Madame Nahed mendesah lega. Tuan Boutros cepat-cepat menyalakan mesin. Lalu perlahan menjalankan mobil meninggalkan halaman apartemen dibuntuti oleh Yousef. Selama dalam perjalanan Tuan Boutros banyak bercerita tentang hal menjengkelkan Si Muka Dingin. Aku meminta beliau tidak usah meneruskan. Aku minta topik pembicaraan yang menarik, yang mengasyikkan, yang menyenangkan seirama dengan malam kebahagiaan Madame Nahed. Maria memuji usulku. Madame Nahed lalu bercerita tentang Maria kecil. Hal-hal kecil yang Maria lakukan. Maria sesekali menjerit manja minta mamanya tidak meneruskan. Ia malu katanya. Tapi Madame Nahed malah seperti tertantang untuk menceritakan semakin banyak. Tuan Boutros sekali menimpal kisah yang diceritakan isterinya. Maria jadi lakon. Aku diam saja. Hanya sesekali bertanya, benarkah? Maria akan langsung menyahut, tidak benar, mama bohong! Madame Nahed dan Tuan Boutros akan menyahutnya dengan tawa terpingkal-pingkal.

“Maria ini waktu kecil sampai umur empat tahun masih menetek. Umur lima tahun masih ngompol apa nggak menyebalkan!” kata Madame Nahed memperolok puterinya.

“Benarkah itu?” sahutku santai sambil memandang sinar purnama yang keperakan di atas riak sungai Nil yang memanjang di samping kiri jalan.

“Ah itu bohong. Tak mungkin itu terjadi!” tukas Maria cepat setengah teriak.

“Itu benar. Kalau tidak percaya nanti kalau bibinya yang bernama Latefa datang tanyakan padanya,” kata Tuan Boutros membela isterinya.

“Itu bukan sesuatu yang tidak baik. Tidak apa-apa. Menetek pada ibu dalam waktu yang lama malah membuat cerdas. Begitu yang kubaca pada sebuah majalah,” sahutku.

Maria berterima kasih padaku karena aku membelanya.

Akhirnya Tuan Boutros memarkir mobilnya di halaman sebuah restaurant mewah. Cleopatra Restaurant. Terletak di pinngir sungai Nile. Bersebelahan dengan Good Shot dan Maadi Yacht Club. Pantas saja mereka berpakaian dan berpenampilan serius. Kami berlima berpandang-pandangan.

“Santai saja. Kita ini turis. Turis ‘kan biasa berpakaian santai?” bisik Hamdi dalam bahasa Indonesia.

“Tapi masak pakai trening yang sudar pudar warnanya begitu?” lirih Saiful sambil meringis memandang Rudi. Aku tersenyum. Baru kali ini kulihat Rudi tidak percaya diri. Muka anak Medan ini seperti kepiting rebus. Di antara kami berlima yang berpakaian paling mengenaskan memang dia. Hamdi lumayan necis, tapi sandal kulit bututnya membuat hati yang melihatnya tidak tahan. Sudah berkali-kali aku mengingatkan agar keduanya membuang jauh-jauh adat klowor yang mereka bawa dari pesantren tradisional. Tapi mereka masih saja suka klowor, padahal baginda Nabi mencontohkan kerapian, kebersihan dan penampilan yang meyakinkan. Memang tidak mudah merubah watak dan gaya hidup. Namun Rudi dan Hamdi jauh lebih baik dari saat pertama kali aku mengenal dan serumah dengannya. Sekarang sudah mulai bisa membagi waktu dan disiplin. Kalau mau diskusi mau menyeterika baju biar sedikit rapi. Tapi aku sangat menyayangkan mereka tadi tidak mau mendengar nasihatku agar berpenampilan sedikit necis. Mereka hanya menyahut, “Alah cuma mau makan saja kok repot-repot!”

Untung Saiful dan Mishbah mengerti nasihatku. Aku sendiri berpakaian tidak bagus sekali namun juga tidak akan memalukan. Kaos katun hijau muda dan rompi santai hijau tua, warna kesayangan. Tak kalah fungkynya dengan Yousef .

Tuan Boutros membawa kami masuk restoran dan memilihkan tempat duduk yang paling menjorok ke sungai Nil seperti dek kapal. Terbuka tanpa atap, bintang-bintang kelihatan. Restauran ini ada dua bagian. Bagian tertutup dan bagian terbuka. Mejanya juga beraneka. Namun warnanya sama. Ada yang untuk dua orang. Empat orang. Dan ada yang bundar untuk enam orang. Kami memilih dua meja bundar yang berdekatan. Tuan Boutros, Madan Nahed, dan Maria telah duduk satu meja terlebih dahulu. Aku mengajak Yousef duduk di meja yang satunya. Teman-teman mengikuti aku. Pas enam orang. Tuan Boutros meminta satu di antara kami duduk satu meja dengan mereka. Kusuruh Rudi. Dia tidak mau. Kupaksa Saiful. Dengan agak ragu-ragu akhirnya dia beranjak juga. Kulihat para pengunjung yang ada. Mereka berpakaian bagus-bagus. Ada sepasang orang bule. Yang lelaki pakai jas yang perempuan pakai gaun malam resmi. Di pojok kanan orang Mesir gemuk botak dengan isterinya. Keduanya rapi. Yousef berbisik kepadaku, “Ini restauran orang besar. Para diplomat dan bisnisman sering kemari. Lihat siapa yang ada di meja dekat lampu hias itu, kau pasti mengenalnya!”

Aku melihat ke arah yang ditunjukkan Yousef. Aku nyaris tidak percaya dengan apa yang kulihat. Di sana ada Adel Imam dan Yusra sedang menyantap makanan dan berbincang. Dua artis Mesir itu makan malam di restauran ini. Teman-teman melongok ke arah keduanya. Yousef mengingatkan, “Jangan terlalu kelihatan heboh! Restauran ini menjaga ketenangan dan kenyamanan pelanggannya.”

Seorang pelayan menanyakan menu. Madame Nahed berkata kepada kami, “Silakan pilih sendiri menunya. Jangan malu-malu. Hai Hamdi, kau pilih apa?”

Hamdi bingung. Ini baru pertama kalinya dia makan di restauran elite. Menunya juga asing semua.

“Semua masakan khas Timur Tengah ada,” bisik Yousef.

Tiba-tiba Saiful beranjak mendekati aku dan berbisik, “Mas, tolong kau saja yang satu meja dengan Tuan Boutros, aku tidak enak. Aku tidak bisa bicara banyak.”

Wajahnya kulihat pucat. Aku merasa kasihan juga melihatnya. Kalau dia sampai malu, dan pulang masih lapar padahal baru saja dari restauran besar, apa tidak kasihan. Aku jadi teringat dengan cerita teman satu pondok dulu. Namanya Bayu. Pakdenya dari ibu dapat isteri kalangan keraton Kasunanan dan tinggal di kawasan elite Jakarta. Suatu kali ia liburan ke tempat Pakdenya itu. Di sana semua serba teratur. Waktu tidur, waktu belajar, waktu istirahat, baju tidur, baju santai, dan makannya juga teratur waktu dan tata caranya. Saat itu dia kelas tiga SMP. Dia yang biasa di desa serba tidak teratur jadi grogi. Biasa makan tanpa sendok tanpa meja makan, tanpa garpu dan lain sebagainya jadi serba grogi. Dia sebenarnya ingin tambah karena masih lapar, tapi tidak berani. Padahal menunya sangat nikmat. Menu yang jarang sekali ia makan di desanya. Ia takut untuk tambah. Ketika hendak tidur ia merasa masih lapar. Ia tidak bisa tidur dengan perut lapar. Akhirnya ia minta izin pada Pakdenya untuk keluar rumah sebentar. Ia pergi ke warteg dan makan sampai kenyang. Ternyata anak pakdenya yang paling besar melihatnya saat baru pulang dari rumah temannya. Ia pun ditanya sama budenya kenapa jajan padahal telah tersedia banyak makanan, apa makanan di rumah budenya tidak enak? Ia tidak bisa menjelaskan, malah menangis. Aku tidak mau teman-teman mengalami nasib tragis seperti Bayu kecil itu.

Sebelum beranjak ke meja Tuan Boutros, aku berpesan pada teman-teman dengan bahasa Indonesia, “Nanti makan yang banyak santai saja. Jika masih ingin tambah ya tambah saja seperti di rumah sendiri.”

Tuan Boutros heran Saiful pindah tempat duduk. Kubilang ia ingin berbincang dengan Yousef. Tuan Boutros menganggukkan kepala.
Pelayan restauran beralih mendekati aku dan bilang, “Anda pesan apa? Teman-teman Anda ikut Anda?”

Madame Nahed tersenyum. Maria kelihatannya ingin tahu aku suka menu apa. Untung aku pernah diajak makan malam ke sebuah restauran tak kalah elitenya di Mohandesen oleh Bapak Atdikbud yang jadi ketua takmir masjid Indonesia di Cairo. Jadi, aku tidak merasa asing sekali dengan menu yang tertulis.

“Minumnya Seasonal Fresh Fruits. Makannya Chicken Mugharabieh with Valanciane Rice dan menu penutupnya minta Pineapple Gateau,” kataku mantap. Itu adalah menu yang dipilih Ibu Atdikbud yang waktu itu tidak aku rasakan. Sebab waktu itu aku memilih menu utama Onion and Cheese Omelette yang tak jauh beda dengan telur dadar, cuma lebih besar dan tebal. Waktu itu aku sedikit menyesal memilih menu yang keliru. Ih jadi geli mengingatnya. Sekarang aku yakin sekali, aku tidak keliru pilih menu.

“Fathi, kau memilih menu kesukaanku,” komentar Maria, ia lalu bilang pada pelayan, “aku sama dengan dia.” Tuan Boutros pilih Lamb Stew sedangkan Madame Nahed pesan Chicken Kofta with Tomato Sauce dan Yousef suka Kabab Lahmul Ghanam. Begitu hidangan tersedia kami menyantap dengan tenang sambil menikmati semilir angin sungai Nil dan sesekali melihat riang gelombangnya yang keperakan diterpa sinar rembulan. Ketika kami sedang asyik makan seorang lelaki berdasi menghampiri Tuan Boutros. Tuan Boutros berdiri dan berjabat tangan.

“Fahri, this is Mr. Rudolf from German, and Mr. Rudolf, this is Fahri from Indonesia!” Tuan Boutros memperkenalkan kenalannya dengan pengucapan yang sangat berlogat Arab.

Mr. Rudolf menjabat tanganku erat.

“Pleased to meet you Mr. Rudolf.” Sapaku pada bule di hadapanku dengan tersenyum. Lalu aku berbasa-basi padanya dengan bahasa Jerman, “Sin Sie Tourist?”

Mr. Rudolf agaknya terkejut mendengar pertanyaanku.

“Nein. Sprechen Sie Deutsch?” Mr. Rudolf balik bertanya dengan nada heran apa aku bisa berbahasa Jerman.

“Ja.” Jawabku sambil tersenyum. Lalu kami berbincang sesaat lamanya dengan bahasa Jerman. Ia menerangkan dirinya adalah staf ahli atase perdagangan Jerman di Kairo. Dia bertanya apa aku seorang diplomat. Kujelaskan statusku di Mesir. Tuan Boutros menawarkan pada Mr. Rudolf untuk duduk bersama kami. Mr. Rudolf mengucapkan terima kasih, ia ditunggu isterinya di meja yang lain, lalu beranjak pergi. Madame Nahed menanyakan di mana aku belajar bahasa Jerman. Dan menyayangkan Tuan Boutros yang tidak bisa berbahasa Jerman padahal banyak koleganya yang berasal dari Jerman. Maria mengusulkan agar ayahnya belajar bahasa Jerman padaku saja. Tuan Boutros hanya tersenyum mendengar celoteh isteri dan puterinya.

Usai makan kami tidak langsung pulang. Madame Nahed memesan koktail dan mengajak kami semua ke bagian dalam, di sana ada hiburan musik klasik. Aku sebenarnya ingin langsung pulang. Tapi Madame Nahed dan Tuan Boutros memaksa, “Kita lihat sebentar saja.”

Di bagian dalam, di tengah ruangan ada panggung kecil setinggi setengah meter. Bentuknya bundar. Di atas panggung bundar itu ada seorang perempuan muda berambut pirang menggesekkan biola dengan penuh penghayatan.

“Yang ia mainkan sekarang ini karya Bedhoven. Perempuan itu pemain biola terkenal dari Rumania.” Seorang pelayan restoran berkata pada seorang wanita setengah baya yang berada tak begitu jauh dariku.

Satu lagu selesai. Pengunjung bertepuk tangan. Pemain biola perempuan itu kembali menggesek biolanya. Kali ini bernada riang. Beberapa orang pengunjung berdiri dari kursinya menuju ke dekat panggung. Mereka berdansa. Orang Mesir botak yang tadi kulihat juga berdansa dengan isterinya.

Tuan Boutros meraih tangan Madame Nahed. Madame Nahed tersenyum dan menengok pada Maria, “Maria, ayo cobalah kau berdansa. Sekali ini saja. Coba ajak Fahri atau siapa terserah!”

Aku terkejut mendengarnya. Tuan Boutros menimpal, “Ya Fahri, Maria itu tidak pernah mau berdansa. Coba kau ajak dia! Mungkin kalau kau yang mengajak dia mau.”

Aku diam. Kulirik teman-teman. Mereka senyam-senyum. Tuan Boutros dan Madame Nahed sudah larut dalam irama musik dan berdansa mesra. Maria mendekatiku.

“Fahri, mau coba berdansa denganku? Ini kali pertama aku mencoba berdansa,” lirihnya malu. Aku harus berbuat apa. Apakah aku harus ikut budaya Eropa. Aku teringat kisah awal-awal Syaikh Abdul Halim Mahmud muda saat belajar di Perancis. Beliau juga mendapat godaan yang tidak jauh berbeda dengan aku saat ini. Dan Syaikh Abdul Halim Mahmud muda mampu melewati ujian itu dengan baik. Beliau yang dikenal sebagai ulama sufi modern yang arif billah itu akhirnya dipilih sebagai Grand Syaikh Al Azhar. Jika ada ahli ibadah dan wali di puncak gunung tanpa godaan itu bukan sesuatu yang mengagumkan. Tapi jika ada ahli ibadah bisa berinteraksi dengan baik di tengah kota metropolitan dengan segala hiruk pikuk budaya hedonisnya itu mengagumkan. Begitu Syaikh Ahmad berkata padaku. Tawaran Maria bagi seorang pemuda adalah tawaran menarik.

Siapa tidak suka bergandeng tangan dan berdansa dengan gadis secantik dia. Di sinilah letak ujiannya.

“Maaf aku tidak bisa,” jawabku sambil tersenyum dan menangkupkan dua tangan di depan dada.

“Sama, aku juga tidak bisa. Kita belajar bersama pelan-pelan. Mari kita coba!” sahut Maria yang belum memahami sepenuhnya penolakanku.

“Maafkan aku Maria. Maksudku aku tidak mungkin bisa melakukannya. Ajaran Al-Qur’an dan Sunnah melarang aku bersentuhan dengan perempuan kecuali dia isteri atau mahramku. Kuharap kau mengerti dan tidak kecewa!” terangku tegas. Dalam masalah seperti ini aku tidak boleh membuka ruang keraguan yang membuat setan masuk ke dalam aliran darah.

“Oh begitu. Maaf, aku tidak tahu. Kalau tahu, aku tak mungkin menawarkan hal ini kepadamu. Aku salut atas ketegasanmu menjaga apa yang kau yakini,” kata Maria. Tak ada gurat kecewa di wajahnya.

“Maria aku keluar dulu. Aku mau menikmati keindahan sungai Nil. Jika ayahmu sudah selesai panggil saja aku di luar,” pesanku pada Maria sebelum aku melangkah keluar. Yousef dan teman-teman membuntutiku. Lima belas menit kemudian Maria memanggil kami untuk pulang. Pukul 22.45 kami sampai di halaman apartemen. Teman-teman memuji menu yang kupilihkan. Aku yakin mereka kenyang.


* * *


Sampai di flat teman-teman tidak langsung tidur, mereka berbincang di ruang tamu. Sementara aku masuk kamar dan membaca surat Nurul yang mengisahkan apa yang dialami oleh Noura yang malang.

Nurul menulis, bahwa Noura mengaku sampai berumur delapan tahun sangat bahagia dan disayang ayah ibunya yaitu Si Muka Dingin Bahadur dan Madame Syaima. Keduanya bahkan sangat menyayanginya melebihi dua kakaknya. Dia memang berbeda dengan kedua kakaknya. Sejak kecil dikenal cerdas, berkulit putih bersih, berambut pirang, lincah dan cantik. Tidak seperti dua kakaknya yang hitam seperti orang Sudan. Petaka itu datang ketika kakak sulungnya Mona pulang dari sekolah dan menangis sejadi-jadinya. Setelah dibujuk ayah dan ibunya Mona mengaku dihina oleh teman satu bangkunya di sekolah. Mona dihina sebagai anak syarmuthah. Hinaan itu disebar ke seluruh kelas. Temannya itu mengatakan, ‘Tidak mungkin ibumu itu tidak melacur. Buktinya adik bungsumu berkulit putih bersih dan berambut pirang. Dari mana bisa begitu kalau tidak melacur dengan orang lain. Ayahmu ‘kan kulitnya hitam dan negro seperti kamu dan ibumu!” tak ayal itu adalah penghinaan yang sangat menyakitkan. Pada hari yang sama ayahnya sedang dipecat dari kerjanya di pabrik baja. Dan pecahlah prahara itu. Malam harinya ayahnya memaki-maki ibunya dan mencelanya sebagai pelacur. Ayahnya sejak itu tidak lagi menyayanginya. Apalagi sebelumnya memang seringkali orang heran dengan ketidaksamaan Noura dengan kedua orang tua dan kakaknya. Sejak itu Noura jadi bulan-bulanan kedua kakaknya dan ayahnya. Ibunya seringkali melindungi dirinya. Namun ketika ayahnya membawa perempuan lain yang cantik dan tidak hitam ke rumah, ibunya menjadi terganggu pikirannya. Ia jadi seperti orang tidak waras. Kadang menangis, marah, ngomel sendiri dan lain sebagainya. Kadang menyayangi Noura dan terkadang tidak jarang ikut menyakitinya. Ayahnya akhirnya dapat pekerjaan sebagai tukang pukul di sebuah Nigh Club yang mengapung di atas sungai Nil. Mona, kakak sulungnya ikut kerja di sana. Sedangkan Suzan katanya kerja di sebuah losmen di Sayyeda Zaenab. Berangkat menjelang maghrib dan pulang sekitar jam dua dini hari. Menurut bisik-bisik para gadis tetangga kedua kakak Noura itu kerjanya tak lain adalah menjual diri. Beberapa kali Noura melihat Mona membawa teman lelaki ke rumah dan diajak tidur di kamarnya. Ayahnya malah senang, sedangkan ibunya sudah semakin buruk ingatannya meskipun sesekali datang kesadarannya dan menatapi nasib dirinya dan nasib Noura. Di rumah itu Noura diperlakukan layaknya pembantu rumah tangga. Memasak, mencuci, mengepel semua tanggung jawab Noura. Untungnya Noura masih dibolehkan ayahnya sekolah di Ma’had Al Azhar, itu pun karena sekolah di sana gratis dan kalau pulang agak terlambat akan mendapatkan hukuman dari ayah dan kedua kakaknya. Beragam bentuk siksaan ia terima dari orang yang ia anggap keluarganya. Puncak derita Noura adalah enam bulan terakhir ini, ketika ayahnya memaksanya dia agar ikut bekerja di Night Club seperti kakaknya. Bahkan ayahnya dapat tawaran dari manajernya agar Noura mau jadi penari perut tetap di Night Clubnya. Bos ayahnya memang pernah ke rumahnya sekali dan melihat Noura. Ayahnya pada waktu itu cerita pada bosnya kalau Noura saat TK dulu pernah menang lomba menari. Jelas Noura tidak bisa memenuhi keinginan ayahnya itu. Sejak itu ia sangat menderita. Puncaknya adalah malam itu. Sore sebelum berangkat kerja, ayahnya memaksanya untuk ikut Mona berangkat setelah maghrib, ada turis asing yang memesan perawan Mesir. Noura dihargai sepuluh ribu pound. Harga yang menurut ayah dan kedua kakaknya sangat tinggi. Ia menolak. Ayahnya lalu mencambuk punggungnya berkali-kali. Ia tidak tahan, akhirnya ia pura-pura mau. Ayahnya berangkat. Tapi begitu shalat maghrib ia mengurung diri di kamar. Tidak mau keluar. Tidak mau membukakan pintu. Bagaimana mungkin dia yang muslimah dan sekolah di Al Azhar akan melakukan perbuatan dosa besar itu. Mona tidak bisa berbuat apa-apa. Tengah malam ayahnya pulang dan terjadilah penyiksaan dan pengusiran itu. Ayah menyumpahinya sebagai anak setan, anak haram, anak tidak tahu diuntung. Mona menampar mukanya dengan sandal berkali-kali sambil berkata, “Kau ini siapa? Kau anak siapa hah? Kau bukan adik kami dan bukan keluarga kami? Aku akan buktikan nanti lewat test DNA kau bagian dari keluarga kami!”

Aku menitikkan air mata membaca kisah penderitaan yang dialami Noura. Aku tidak melihat bekas-bekas cambukan di punggungnya, tapi aku bisa merasakan sakitnya. Aku tidak melihat wajahnya saat itu tapi hatiku bisa menangkap rintihan batinnya yang remuk redam. Aku seolah ikut merasakan kecemasan, ketakukan dan kesendiriannya selama ini dalam neraka yang dicipta Si Muka Dingin Bahadur. Aku tiba-tiba merasa Noura itu seperti adik kandungku sendiri. Entah bagaimana aku bisa merasakan begitu, padahal aku tidak memiliki adik. Aku anak tunggal. Tapi aku seperti merasakan apa yang dirasakan Noura. Seandainya dia adikku tentu tidak akan aku biarkan ada orang jahat menyentuh kulitnya. Akan aku korbankan nyawaku untuk melindunginya.

Aku kembali menitikkan air mata. Oh Noura, semoga Allah menjagamu di dunia dan di akhirat. Gadis berwajah putih dan innocence itu selalu berjalan menunduk. Jika berpapasan kami hanya bersapa dengan tatapan mata sekilas. Tanpa kata-kata. Tapi kami merasa dekat dan saling kenal. Aku tidak mungkin membiarkan Noura terus jadi bulan-bulanan para serigala berkepala manusia. Aku harus melakukan sesuatu. Tapi apa? Dan sampai sejauh mana langkahku? Aku adalah orang asing di sini. Aku menarik nafas panjang. Diam memejamkan mata dengan pikiran terus mengembara mencari jalan keluar. Aku tidak bisa, dan tidak akan mampu bertindak sendiri. Akan aku serahkan masalah ini pada Syaikh Ahmad, dia adalah intelektual muda yang sangat peduli pada siapa saja. Beliau pasti mau membantu Noura.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Novel: Ayat-Ayat Cinta (Bahagian 6)

6. Hadiah Perekat Jiwa


Senja musim panas sungguh indah meskipun tetap tidak seindah musim semi. Aku membuka jendela kamar lebar-lebar. Semburat mega kemerahan menghiasi langit. Bau uap pasir masih terasa. Angin bertiup semilir seolah menghapus hawa panas. Jendela Maria kelihatannya juga terbuka. Habis maghrib paling enak memang membuka jendela. Membiarkan angin semilir mengalir. Sayup-sayup aku mendengar Maria bernyanyi.

Kalimatin laisat kal kalimaat!

Ia melantunkan lagu Majida Rumi dengan sangat indah. Suara Maria memang seindah suara penyanyi tersohor dari Lebanon itu.
Di kamar sebelah Saiful masih membaca An-Naml. Spontan aku menangkap makna ayat-ayat yang dibaca Saiful. Seekor semut berseru pada teman-temannya, “Hai semut-semut sekalian cepat masuklah ke dalam liang kalian. Sebentar lagi Sulaiman dan bala tentaranya akan lewat, kalian bisa terinjak kaki mereka dan mereka sama sekali tidak merasa menginjak kalian!” Nabi Sulaiman ternyata mendengar dan mengerti apa yang diucapkan semut itu. Nabi Sulaiman tersenyum. Aku pun tersenyum.

Aku duduk di depan meja belajar. Menulis beberapa baris kalimat indah untuk Yousef dan Madame Nahed dalam dua kertas berbeda. Masing-masing kumasukkan amplop. Dan kumasukkan dalam dua kardus kecil yang siap kubungkus. Hamdi dan Rudi masuk.

“Katanya mau membuat konferensi pers Mas?” canda Hamdi. Rudi cengar-cengir.
“Panggil Saiful sekalian!” sahutku tenang. Agaknya Saiful mendengar pembicaraan kami. Dia menyudahi bacaan Al-Qur’annya dan menyahut, “I’m coming!”
“Rud, tolong sambil kau bantu membungkus yang satu! Kau ‘kan jagonya membungkus kado,” pintaku pada Rudi.
“Beres Mas.”

Sambil membungkus kado aku menjelaskan untuk siapa kado ini sebenarnya. “Kita mengamalkan hadits Nabi, Tahaadu tahaabbu! Salinglah kalian memberi hadiah maka kalian akan saling mencintai! Ini waktu yang tepat untuk memberikan kejutan pada tetangga kita yang baik itu. Mereka sering sekali memberi makanan dan minuman kepada kita. Mereka juga perhatian pada kita. Jadi begitu sesungguhnya. Bukan untuk calon isteri. Jangan berprasangka sebab sebagian prasangka itu dosa!”

Mereka semua menganggukkan kepala. Rudi minta maaf. Kubalas dengan senyum.

“Kapan kado ini akan disampaikan Mas?” tanya Saiful.
“Insya Allah nanti menjelang mereka tidur,” jawabku.
“Bagaimana kita tahu mereka mau tidur?” sahut Hamdi.
“Jika aku mendengar Maria menutup jendela, biasanya dia siap untuk tidur. Dan Maria bilang mamanya selalu tidurnya lebih lambat darinya.”


* * *


Kira-kira pukul sebelas kudengar suara jendela ditutup. Itu Maria. Dua menit kemudian kukirim pesan ke nomor handphone-nya:

“Kalau mau tidur jangan lupa doa! Semoga mimpi bertemu Al-Masih.”
Tak lama kemudian datang balasan,
“Bagaimana kamu tahu aku akan tidur?”
Kujawab,
“Firasat orang beriman banyak benarnya.”
“Kau benar. Selamat malam.”

Saatnya telah tiba.

Kuajak teman-teman semua ke atas. Ke rumah Maria. Aku yakin Yousef dan Madame Nahed belum tidur. Tuan Boutros mungkin baru akan tidur. Kami menekan bel dua kali. Yousef membuka pintu dan melongok.

“Oh kalian. Ada perlu?” tanya Yousef. Ia belum melihat hadiah yang kami bawa.
“Mama ada? Kami perlu bicara dengan beliau,” tukasku.
“Ayo masuk.”

Yousef ke dalam memanggil mamanya. Tak lama kemudian Madame Nahed keluar dengan sedikit kaget. Biasanya kami selalu berurusan dengan Tuan Boutros atau Maria. Jarang sekali dengan beliau.

“Malam-malam begini mencari saya ada apa ya? Apa ada yang sakit?” tanya beliau yang memang seorang dokter, tapi tidak praktek di rumah.

“Maafkan kami Madame, jika kedatangan kami mengganggu. Kami datang untuk mengungkapkan rasa cinta dan hormat kami pada keluarga ini. Kebetulan kami telah menyiapkan hadiah ala kadarnya. Ini untuk Madame dan yang satunya untuk Yousef. Hadiah sederhana untuk ulang tahun Madame dan Yousef. Kami mendoakan semoga Madame dan Yousef bahagia dan berjaya.” Aku menjelaskan maksud kedatanganku dan teman-teman.

Madame Nahed benar-benar terkejut. Ia menerima hadiah itu dengan mata berkaca-kaca. Yousef mengucapkan terima kasih tiada terhingga. Setelah itu kami mohon diri meskipun Madame Nahed ingin kami minum kopi dulu.

“Kami tahu sudah saatnya istirahat. Kami tidak ingin istirahat Madame dan Yousef terganggu.”

Madame Nahed tidak bisa mengucapkan apa-apa kecuali terima kasih berkali-kali. Saat kami menuruni tangga, kami mendengar Madame Nahed berteriak-teriak senang memanggil Maria dan Tuan Boutros. Selanjutkan kami tidak tahu apa yang terjadi dalam rumah Madame Nahed itu.

Ketika aku bersiap untuk tidur, handphone-ku memekik. Ada pesan masuk. Kubaca. Dari Maria, “Apa yang kalian lakukan sampai membuat Mama menangis haru?”

Aku merasa tidak perlu menjawab. Hatiku mengucapkah puji syukur kepada Tuhan berkali-kali. Tidak sia-sia rasanya panas-panas ke Attaba.

Maria kembali mengirim pesan, “Hai orang Indonesia, kenapa tidak dijawab? Kau sudah tidur ya?”

Aku jawab, “Ya.”

Apa pesan masuk lagi. Tidak kulihat. Aku harus istirahat. Tiba-tiba mataku berkaca-kaca aku belum pernah memberikan kado pada ibuku sendiri di Indonesia. Sebelum kenal Kairo aku adalah orang desa yang tidak kenal yang namanya kado. Di desa hadiah adalah membagi rizki pada tetangga agar semua mencicipi suatu nikmat anugerah Gusti Allah. Jika ada yang panen mangga ya semua tetangga dikasih biar ikut merasakan. Ulang tahun tidak pernah diingat-ingat oleh orang desa. Yang diingat adalah netu, atau hari lahir menurut hitungan Jawa, misalnya Kamis Pon, Jum’at Wage dan seterusnya. Pada hari itu, seperti yang kuingat waktu kecil dulu, ibu akan membuat bubur merah atau makanan lengkap dengan lauk-pauknya di letakkan di atas tampah yang telah dialasi dengan daun pisang. Tampah adalah wadah seperti nampan bundar besar yang terbuat dari bambu Di bawah daun pisang ibu meletakkan uang recehan banyak sekali. Setelah siap semua teman-temanku dipanggil untuk makan bersama.

Sebelum makan ibu mengingatkan agar kami tidak lupa membaca basmalah bersama. Jika Mbah San kebetulan ada, ibu akan minta Mbak Ehsan berdoa dan kami, anak-anak, mengamininya. Barulah kami makan berramai-ramai. Setelah makanannya habis kami akan membuka daun pisang yang tadi dibuat alas makan. Lalu kami berebutan mengambil uang receh dengan serunya. Semua kebagian. Sebab jika ada yang dapat uang lebih dan ada yang tidak dapat maka sudah jadi kewajiban yang dapat lebih untuk membaginya pada yang tidak dapat. Biasanya ibu sudah menghitung jumlah anak yang akan diundang dan uangnya sesuai dengan jumlah anak itu. Jadi semuanya dapat jatah sama. Sebenarnya kami tahu jatah uang logamnya satu-satu. Tapi selalu saja dibuat rebutan dahulu. Masa kecil yang seru. Begitulah cara ibu-ibu di desaku menyenangkan hati anak-anak kecil. Kenangan indah yang tiada terlupakan. Lebih indah dari pesta meniup lilin dan bernyanyi happy birthday to you.

Pernah ada kiai muda dalam suatu pengajian di surau melarang ibu-ibu membuat pesta untuk anak-anak seperti itu. Katanya itu bid’ah. Ibu-ibu bingung dan lapor pada Mbah Ehsan. Mbah Ehsan yang pernah belajar di Pesantren Mambaul Ulum Surakarta itu hanya tersenyum dan bilang tidak apa-apa, tidak bid’ah, malah dapat pahala menyenangkan anak kecil. Kanjeng Nabi adalah teladan. Beliau paling suka menyenangkan hati anak kecil.

Ketika aku sudah sampai Mesir, dan setelah membaca kitab Al I’tisham karangan Imam Syathibi dan kitab As-Sunnah Wal Bid’ah yang ditulis Syaikh Yusuf Qaradhawi aku merenungkan kembali jawaban Mbah Ehsan. Sungguh suatu jawaban yang sangat arif. Sungguh tidak mudah untuk membid’ahkan suatu perbuatan terpuji yang tiada larangan dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Sungguh tidak bijak bertindak sembarangan menghukumi orang.

Pada kenyataannya, ibu-ibu di desa tidak pernah menganggap pesta pada netu anaknya sebagai suatu kewajiban agama yang harus dilakukan. Yang jika dilakukan dapat pahala jika tidak dapat dosa. Atau sebagai ibadah sunah, jika dilakukan dapat pahala jika ditinggal tidak apa-apa. Tidak ada anggapan itu masuk bagian dari ajaran agama. Apa yang dilakukan ibu-ibu di desa tak lebih dari ungkapan rasa sayangnya pada anaknya. Ia ingin anaknya merasa senang. Dan teman anak-anaknya juga senang. Itu saja.

Orang desa adalah orang yang hidupnya susah dan pas-pasan. Jika punya kelebihan rizki sedikit saja ingin berbagi kepada sesama. Ibu-ibu ingin menanamkan hal itu dalam jiwa anak-anaknya. Ketika seorang ibu di desa memiliki rizki ia ingin membahagiakan anaknya. Membuatkan sesuatu yang istimewa untuk anaknya. Tapi ia juga ingin anaknya membagi kebahagiaan dengan teman-temannya. Maka dibuatlah makanan yang agak banyak untuk dibancak bersama-sama. Adapun itu dipaskan dengan hari netu anaknya adalah agar anaknya merasa memiliki sesuatu istimewa. Ia merasa dihormati, dicintai dan disayangi. Hari itu ia merasa memiliki rasa percaya diri. Ia merasa ada sebagai manusia. Ia didoakan oleh teman-temannya yang mengamini doa Mbah Ehsan. Atau ia merasa ketika seluruh teman-temannya membaca basmalah bersama-sama, itu adalah doa mereka untuk dirinya. Pada hari itu anak orang paling miskin di suatu desa sekalipun akan tumbuh rasa percaya dirinya. Sebab anak orang kaya ikut serta makan satu nampan dengan seluruh anak-anak yang ada. Anak orang kaya makan pada nampan yang dibuat ibunya untuk dirinya pada hari istimewanya. Ia tidak merasa rendah diri. Seluruh anak-anak desa merasa sama. Makan bersama. Cuil mencuil tempe. Saling tarik menarik secuil rambak. Dan tertawa bersama. Lalu rebutan uang receh dan saling berbagi. Orang-orang desa adalah orang-orang susah dan mereka kaya akan cara menutupi kesusahan mereka dan menyulapnya menjadi kebahagian yang bisa dirasakan bersama-sama.


* * *


Pagi usai shalat shubuh ada orang menekan bel. Ternyata Yousef. Ia datang untuk sekali lagi mengucapkan terima kasih dan mengabarkan kami sesuatu, “Mama ingin membuat pesta ulang tahun kami berdua di sebuah Villa di Alexandria. Kalian satu rumah kami undang. Semua ongkos perjalanan jangan dipikirkan Mama sudah siapkan,” ucapnya dengan mata berbinar-binar. Kulihat wajah teman-teman cerah. Wisata gratis ke Alexandria siapa tidak mau. Lain dengan diriku. Bulan ini jadwalku padat sekali. Terjemahan belum selesai. Proposal tesis. Mengaji dengan Syaikh Utsman yang sangat sayang jika aku tinggalkan, meskipun cuma satu hari. Dan lain sebagainya. Aku merasa tidak bisa ikut. Tapi aku pura-pura bertanya, “Kapan?”

“Minggu depan. Menurut ramalan cuaca sudah tidak terlalu panas. Rencananya berangkat Sabtu, setengah dua siang. Menginap di sana semalam. Minggu sore sebelum maghrib baru pulang. Bagaimana, kalian bisa ‘kan? Kalian ‘kan masih libur?” kata Yousef.
Meskipun wajah teman-teman tampak cerah, tapi mereka tidak spontan menjawab. Mereka sangat menghargai diriku sebagai kepala rumah tangga dan sebagai yang tertua.

“Kurasa teman-teman bisa ikut. Tapi mohon maaf, saya tidak bisa. Sebab jadwal saya padat sekali. Terus terang saya sedang menyelesaikan proyek terjemahan dan sedang menggarap proposal tesis. Sampaikan hal ini pada Mama ya?” jawabku.

“Mas, kenapa tidak diluangkan satu hari saja sih. Kasihan mereka ‘kan?” sahut Rudi.

“Rud, semua orang punya skala prioritas. Banyak hal penting di hadapan kita, tapi kita tentu memilih yang paling penting dari yang penting. Aku punya kewajiban menyelesaikan kontrak. Itu yang harus aku dahulukan daripada ikut ke Alex. Jika ada rencana yang tertunda dua hari saja, maka akan banyak rencana yang rusak. Tolonglah pahami aku. Silakan kalian ikut aku tidak apa-apa. Sungguh!” jelasku mohon pengertian teman-teman satu rumah. Yousef mengerti semua yang aku katakan sebab Rudi dan aku mengatakannya dalam bahasa Arab.

“Baiklah. Akan aku sampaikan ini pada Mama,” ujar Yousef sambil bangkit minta diri. Aku beranjak ke kamar untuk menyalakan komputer.

Sementara Saiful ke dapur untuk piket masak. Rudi dan Hamdi tetap di ruang tamu membaca-baca koran yang kemarin kubeli.

Baru saja aku mengetik tujuh baris. Bel kembali berbunyi.

“Mas Fahri, Yousef!” teriak Hamdi.

Aku bergegas ke depan.

“Begini Fahri. Setelah aku beritahukan semuanya, Mama memutuskan untuk membatalkan rencana ke Alex,” ucap Yousef dengan kerut muka sedikit kecewa.
“Kenapa?”
“Karena kau tidak bisa ikut.”
“Kan acara tetap bisa berjalan dengan baik tanpa keikutsertaanku.”
“Pokoknya itu keputusan mama.”
“Ana asif jiddan! Wallahi, ana asif jiddan!72” ucapku sedih. Sebetulnya aku tidak ingin mengecewakan siapapun juga.
“Tak apa-apa. Mama ingin menggantinya dengan sebuah acara yang tidak akan menyita waktu banyak. Dan untuk acara ini mama minta dengan sangat kalian bisa ikut semua. Sekali lagi dengan sepenuh permohonan, tidak boleh ada yang tidak bisa.”
“Acaranya apa, dan kapan?”
“Kami sekeluarga akan mengajak kalian sekeluarga ke sebuah restaurant di Maadi untuk makan malam. Kalian tidak boleh menolak. Begitu pesan mama.”
Aku berpikir sejenak.
“Sudahlah Mas. Untuk yang ini sedikit toleranlah. Masak jadwal menerjemahnya ketat buanget sih!” desak Hamdi.
“Baiklah. Insya Allah, kami sekeluarga bisa. Jam berapa kita berangkat?” kulihat wajah Yousef lebih cerah. Ia tersenyum.
“Setelah kalian shalat maghrib kita langsung berangkat. Biar tidak kemalaman,” ucapnya senang.
“Waktu yang tepat sekali,” gumamku.
“Kalau begitu aku naik dulu. Terima kasih atas kesediaannya.”
“Terima kasih atas ajakannya.”
Hamdi, Rudi, dan Saiful tersenyum riang.
“Wah lumayan. Pengiritan uang dapur,” kata Saiful.
“Sekali-kali kita makan di restaurant mewah, masak cuma bisa makan qibdah 35 piaster,” sahut Rudi.
“Memang enaknya punya tetangga baik,” tukas Hamdi.
“ Hei, jangan lupa sama teman. Si Mishbah diberi tahu suruh pulang. Harus sampai rumah sebelum maghrib.” Selorohku sambil berjalan masuk kamar untuk kembali menerjemah. Tak lama kemudian kudengar Si Hamdi berbicara di telpon. Mishbah akan pulang selepas shalat ashar.
Baru lima halaman Rudi berteriak, “Mas Fahri telpon from the true coise!” Rudi itu masih meledek aku rupanya ia menyebut Nurul “the true coise”. The true coise bagi siapa? Aku mendesah panjang. Pagi-pagi mau tenang sedikit saja tidak bisa. Kuangkat gagang telpon, “Halo. Siapa ya?”
“Alah, udah tahu pura-pura tanya pula!” celetuk Rudi dengan logat Medannya yang membuat telingaku terasa gatal. Anak ini resek sekali.
“Ini Nurul. Ini dengan Kak Fahri ya?” suara di seberang sana.
“Ya. Kemarin katanya nelpon ya?Ada apa?”
“Ah enggak. Kemarin sebetulnya ada yang ingin Nurul tanyakan, tapi jawabannya sudah ketemu.”
“Lha ini nelpon ada apa?”
“Tentang Noura.”
“Ada apa dengan Noura?”
“Tadi malam dia sudah menceritakan semuanya pada saya. Dia memang gadis yang malang. Ceritanya sangat mengenaskan.”
“Bagaimana ceritanya?”
“Maaf Kak, aku tidak bisa menceritakannya sekarang. Sangat panjang.”
“Oh aku paham. Kau tutup saja telponmu. Biar aku yang telpon.”
“Bukan pulsa masalahnya Kak.”
“Terus enaknya bagaimana?”
“Sore nanti kami, pengurus Wihdah diundang Pak Atdikbud di rumahnya yang dekat SIC. Kakak bisa nggak ke SIC jam lima?”
“Sayang nggak bisa Nur.”
“Terus bagaimana?”
“Minggu-minggu ini jadwalku padat. Susah meluangkan waktu buat appoinment baru. Bagaimana kalau segala yang diceritakan Noura kau tulis saja semuanya. Pakai tulisan tangan tidak apa-apa. Kulihat cerpenmu pernah nampang di bulletin Citra. Kayaknya lebih praktis. Lebih enak. Tapi kalau bisa secepatnya.”
“Akan Nurul usahakan. Kapan Kakak ingin mengambilnya?”
Aku berpikir sejenak. Kapan aku akan keluar ke Nasr City. Satu minggu lagi. Terlalu lama. Oh ya, aku ingat, Mishbah masih di wisma dia akan pulang selepas shalat ashar. Dan Rudi setelah makan pagi nanti akan pergi ke Wisma untuk diskusi.
“Kalau kau bisa menulisnya sekarang juga, habis zhuhur aku bisa minta teman untuk mengambilnya.”
“Insya Allah bisa. Siapa nanti yang mengambil Kak?”
“Kalau tidak Mishbah ya Rudi.”
“Bilang jangan lebih jam tiga. Aku sudah tidak dirumah. Itu saja Kak ya.”
“Terima kasih Nur.”
“Kembali.”

Aku menutup gagang telpon dengan hati penasaran. Apa sesungguhnya yang dialami oleh gadis Mesir yang lemah lembut bernama Noura itu. Aku berharap nanti sore atau nanti malam sudah mengetahuinya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Novel: Ayat-Ayat Cinta (Bahagian 5)

5. Pertemuan di Tahrir


Jam 10.10 aku sampai di mahattah metro bawah tanah Maydan Tahrir. Sesuai dengan janji, kami akan bertemu di jalur metro menuju Giza Suburban. Tempatnya lebih nyaman. Lebih indah. Aku mencari tempat duduk yang paling mudah dilihat. Janjinya tepat setengah sebelas. Aku datang dua puluh menit lebih awal. Sambil menunggu aku membaca kembali bahan khutbah yang telah kupersiapkan. Keadaan mahattah tidak terlalu ramai. Menjelang shalat Jum’at seperti ini biasanya memang agak lengang. Seorang polisi bersiaga dengan senjata di pinggang. Petugas kebersihan berseragam menyapu pelan-pelan. Seorang perempuan berjubah hitam bercadar hitam datang. Kukira dia Aisha, ternyata bukan. Perempuan itu tidak melihat ke arahku sama sekali. Begitu metro datang, ia langung naik dan hilang.

Sudah pukul sebelas Aisha belum juga datang. Aku akan menunggu sampai seperempat jam ke depan jika ia tidak datang aku akan langsung pergi ke Dokki. Pukul sebelas lima menit ada seorang perempuan berabaya cokelat tua dengan jilbab dan cadar di kepalanya. Ia melangkah tergesa ke arahku. Ia mengucapkan salam dan aku menjawabnya.

“Nehmen Sie platz!” kupersilakan dia duduk.
“Danke schon.” Selorohnya sambil bergerak duduk di samping kananku.
“Bitte.”
Aisha melihat jam tangannya. Dia minta maaf datang terlambat. Aku hanya tersenyum. Kami lalu mulai berbincang-bincang. Aisha memilih pakai bahasa Jerman.
“Wo ist Alicia?” Tanyaku karena aku tidak juga melihat bule Amerika itu datang.
“Insya Allah, dia akan datang sepuluh menit lagi. Dia sedang dalam perjalanan dari wawancara dengan Ibrahem Nafe’, Pemimpin Redaksi Harian Ahram.”

Aku bisa memaklumi, namun aku perlu menjelaskan padanya bahwa tepat setengah dua belas aku harus meninggalkan Tahrir. Sekali lagi Aisha minta maaf atas keterlambatannya dan keterlambatan Alicia. Dalam hati aku senang, bahwa memang perlu sekali-kali orang Barat minta maaf pada orang Indonesia, karena mereka datang tidak tepat waktu. Makanya, jangan main-main dengan murid Syaikh Utsman yang terkenal disiplin.

“Semoga lima belas menit cukup bagi Alicia untuk mendapatkan jawaban atas ketidaktahuannya akan Islam,” kata Aisha dengan nada sedikit menyesal.
“Sebetulnya saya senang diajak berbincang untuk menjelaskan keindahan Islam. Tapi kali ini saya ada jadwal khutbah. Maafkan saya.”
“Kalau waktunya tidak cukup, anggaplah ini pertemuan pengantar saja. Semoga Anda tidak keberatan seandainya Alicia minta waktu lagi, entah kapan.”
“Insya Allah. Dengan senang hati.”

Aisha lalu bertanya-tanya tentang saya. Tentang Indonesia. Tentang Jawa. Dia pun sempat sedikit mengenalkan dirinya. Dia baru empat bulan di Cairo. Tujuannya untuk belajar bahasa Arab dan memperbaiki bacaan Al-Qur’annya. Di Jerman ia sudah tingkat akhir Fakultas Psikologi. Ayahnya asli Jerman. Ibunya asli Turki. Dari ibunya ia memiliki darah Palestina. Sebab neneknya atau ibu ibunya adalah wanita asli Palestina. Ibunya bilang, neneknya lahir di Giza. Aku bertanya sejak kapan memakai jilbab dan cadar. Ia menjawab memakai jilbab sejak SMP dan memakai cadar sejak tiba di Mesir, mengikuti bibinya. Sementara ia memang tinggal di Maadi bersama bibi dan pamannya. Bibinya sedang S.2. di Kuliyyatul Banat Universitas Al Azhar, beliau adik bungsu ibunya. Sedangkan pamannya sedang S.3., juga di Al Azhar. Aku mengenal beberapa orang Turki yang ada di program pascasarjana. Aku teringat sebuah nama.

“Aku kenal seorang mahasiswa Turki. Dia cukup akrab denganku. Dia pernah bilang tinggal di dekat Kentucky Maadi, mungkin pamanmu kenal,” kataku.
“Dekat Kentucky? Siapa namanya? Coba nanti aku tanyakan pada paman,” Aisha penasaran.
“Namanya Eqbal Hakan Erbakan?”
“Siapa?”
“Eqbal Hakan Erbakan.”
“La ilaaha illallah!”
“Kenapa?”
“Itu pamanku.”
“So ein zufall! ”
“Dunia begitu sempit bukan? Tak kukira kau kenal pamanku.”
“Sampaikan salamku untuknya. Katakan saja dari Fahri Abdullah Shiddiq, teman i’tikaf di masjid Helmeya Zaitun tahun lalu. Juga sampaikan salamku pada bibimu dan kedua puteranya yang lucu; Amena dan Hasan.”
“Insya Allah dengan senang hati.
Dari kejauhan aku melihat seorang perempuan bule datang.
“Apakah dia Alicia?”
“Kelihatannya.”

Penampilannya memang berbeda dengan waktu aku melihatnya di metro dua hari yang lalu. Sekarang tampak lebih sopan. Memakai hem lengan panjang. Tidak kaos ketat dengan bagian perut terlihat. Ia menyapa kami dengan tersenyum. Aisha menjelaskan waktu yang ada sangat sempit, karena jam setengah dua belas aku harus cabut ke Masjid Indonesia di Dokki. Alicia bisa mengerti dan minta maaf atas keterlambatan. Ia langsung membuka dengan sebuah pertanyaan,

“Begini Fahri, di Barat ada sebuah opini bahwa Islam menyuruh seorang suami memukul isterinya. Katanya suruhan itu terdapat dalam Al-Qur’an. Ini jelas tindakan yang jauh dari beradab. Sangat menghina martabat kaum wanita. Apakah kau bisa menjelaskan masalah ini yang sesungguhnya? Benarkah opini itu, atau bagaimana?”

Aku menghela nafas panjang. Aku tidak kaget dengan pertanyaan Alicia itu. Opini yang sangat mendiskreditkan itu memang seringkali dilontarkan oleh media Barat. Dan karena ketidakmengertiannya akan ajaran Islam yang sesungguhnya banyak masyarakat awam di Barat yang menelan mentah-mentah opini itu. Dengan kemampuan yang ada aku berusaha menjelaskan sebenarnya. Aku berharap Alicia bisa memahami bahasa Inggrisku dengan baik.

“Tidak benar ajaran Islam menyuruh melakukan tindakan tidak beradab itu. Rasulullah Saw. dalam sebuah haditsnya bersabda, ‘La tadhribu imaallah!’ Maknanya, ‘Jangan kalian pukul kaum perempuan!’ Dalam hadits yang lain, beliau menjelaskan bahwa sebaik-baik lelaki atau suami adalah yang berbuat baik pada isterinya.68 Dan memang, di dalam Al-Qur’an ada sebuah ayat yang membolehkan seorang suami memukul isterinya. Tapi harus diperhatikan dengan baik untuk isteri macam apa? Dalam situasi seperti apa? Tujuannya untuk apa? Dan cara memukulnya bagaimana? Ayat itu ada dalam surat An-Nisa, tepatnya ayat 34:
“Sebab itu, maka Wanita yang saleh ialah yang ta'at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu kuatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka dari tempat tidur dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.”

Jadi seorang suami diperbolehkan untuk memukul isterinya yang telah terlihat tanda-tanda nusyuz.”
Alicia menyela, “Nusyuz itu apa?”

“Nusyuz adalah tindakan atau perilaku seorang isteri yang tidak bersahabat pada suaminya. Dalam Islam suami isteri ibarat dua ruh dalam satu jasad. Jasadnya adalah rumah tangga. Keduanya harus saling menjaga, saling menghormati, saling mencintai, saling menyayangi, saling mengisi, saling memuliakan dan saling menjaga. Isteri yang nusyuz adalah isteri yang tidak lagi menghormati, mencintai, menjaga dan memuliakan suaminya. Isteri yang tidak lagi komitmen pada ikatan suci pernikahan. Jika seorang suami melihat ada gejala isterinya hendak nusyuz, hendak menodai ikatan suci pernikahan, maka Al-Qur’an memberikan tuntunan bagaimana seorang suami harus bersikap untuk mengembalikan isterinya ke jalan yang benar, demi menyelamatkan keutuhan rumah tangganya. Tuntunan itu ada dalam surat An-Nisaa ayat 34 tadi. Di situ Al-Qur’an memberikan tuntunan melalui tiga tahapan,

Pertama, menasihati isteri dengan baik-baik, dengan kata-kata yang bijaksana, kata-kata yang menyentuh hatinya sehingga dia bisa segera kembali ke jalan yang lurus. Sama sekali tidak diperkenankan mencela isteri dengan kata-kata kasar. Baginda Rasulullah melarang hal itu. Kata-kata kasar lebih menyakitkan daripada tusukan pedang.

Jika dengan nasihat tidak juga mempan, Al-Qur’an memberikan jalan kedua, yaitu pisah tempat tidur dengan isteri. Dengan harapan isteri yang mulai nusyuz itu bisa merasa dan interospeksi. Seorang isteri yang benar-benar mencintai suaminya dia akan sangat terasa dan mendapatkan teguran jika sang suami tidak mau tidur dengannya. Dengan teguran ini diharapkan isteri kembali salehah. Dan rumah tangga tetap utuh harmonis.

Namun jika ternyata sang isteri memang bebal. Nuraninya telah tertutupi oleh hawa nafsunya. Ia tidak mau juga berubah setelah diingatkan dengan dua cara tersebut barulah menggunakan cara ketiga, yaitu memukul.

Yang sering tidak dipahami oleh orang banyak adalah cara memukul yang dikehendaki Al-Qur’an ini. Tidak boleh sembarangan. Suami boleh memukul dengan syarat:

Pertama, telah menggunakan dua cara sebelumnya namun tidak mempan. Tidak diperbolehkan langsung main pukul. Isteri salah sedikit main pukul. Ini jauh dari Islam, jauh dari tuntunan Al-Qur’an. Dan Islam tidak bertanggung jawab atas tindakan kezaliman seperti itu.

Kedua, tidak boleh memukul muka. Sebab muka seseorang adalah segalanya bagi manusia. Rasulullah melarang memukul muka.

Ketiga, tidak boleh menyakitkan. Rasulullah Saw. bersabda, ‘Bertakwalah kepada Allah dalam masalah perempuan (isteri). Mereka adalah orang-orang yang membantu kalian. Kalian punya hak pada mereka, yaitu mereka tidak boleh menyentuhkan pada tempat tidur kalian lelaki yang kalian benci. Jika mereka melakukan hal itu maka kalian boleh memukul mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan (ghairu mubrah). Dan kalian punya kewajiban pada mereka yaitu memberi rizki dan memberi pakaian yang baik.’ Para ulama ahli fiqih dan ulama tafsir menjelaskan kriteria ‘ghairu mubrah’ atau ‘tidak menyakitkan’ yaitu tidak sampai meninggalkan bekas, tidak sampai membuat tulang retak, dan tidak di bagian tubuh yang berbahaya jika kena pukulan.

Dengan menghayati benar-benar kandungan ayat suci Al-Qur’an itu dan makna hadits-hadits Rasulullah itu akan jelas sekali seperti apa sebenarnya ajaran Islam. Apakah seperti yang dituduhkan dan diopinikan di Barat yang menghinakan wanita? Apakah tuntunan mulia seperti itu, yang bertujuan menyelamatkan bahtera rumah tangga karena ada gejala isteri hendak nusyuz, tidak lagi bersahabat pada suaminya, hendak menodai ikatan suci pernikahan dianggap tiada beradab?

Kapan seorang suami diperbolehkan memukul? Pada isteri macam apa? Syaratnya memukulnya apa saja? Tujuannya apa? Itu semua haruslah diperhatikan dengan seksama. Memukul seorang isteri jahat tak tahu diri dengan pukulan yang tidak menyakitkan agar ia sadar kembali demi keutuhan rumah tangga, apakah itu tidak jauh lebih mulia daripada membiarkan isteri berbuat seenak nafsunya dan menghancurkan rumah tangga?

Ya inilah ajaran Islam dalam mensikapi seorang isteri yang berperilaku tidak terpuji. Islam sangat memuliakan perempuan, bahwa di telapak kaki ibulah surga anak lelaki. Hanya seorang lelaki mulia yang memuliakan wanita. Demikian Islam mengajarkan.”

Rasanya sudah cukup panjang aku menjelaskan. Alicia tampak mengangguk-anggukkan kepala. Sekilas kulihat mata Aisha berkaca-kaca. Entah kenapa. Sebenarnya aku ingin memaparkan ratusan data tentang perlakuan tidak manusiawi orang-orang Eropa pada isteri-isteri mereka. Namun kuurungkan. Biarlah suatu saat nanti sejarah sendiri yang membeberkan pada Alicia dan orang-orang seperti Alicia. Di Inggris, beberapa abad yang lalu isteri tidak hanya boleh dipukul tapi boleh dijual dengan harga beberapa poundsterling saja. Ada seorang Perdana Menteri Jepang yang mengatakan bahwa cara terbaik memperlakukan wanita adalah dengan menamparnya. Dengan bangga Perdana Menteri itu mengaku sering menampar isteri dan anak perempuannya. Ia bahkan menasihati suami puterinya agar tidak segan-segan menampar isterinya. Untungnya Inggris dan Jepang bukan negara yang mayoritas penduduknya muslim. Jika mereka negara Islam atau mayoritas penduduknya muslim pastilah protes keras atas perlakuan tidak beradab pada perempuan itu akan datang bagaikan gelombang badai.

Aku menengok jam tangan. Pukul 11.35.

“Maaf. Aku harus pergi sekarang. Aku sudah terlambat lima menit dari rencana,” ucapku pada Alicia dan Aisha sambil bangkit dari duduk.

“Dari jawaban yang kau berikan aku mendapatkan masukan yang sama sekali baru aku mengerti. Sebenarnya masih ada banyak hal yang ingin aku tanyakan kepadamu.Tentang Islam memperlakukan perempuan. Tentang Islam memperlakukan non-Islam. Tentang Islam dan perbudakan dan lain sebagainya. Dan aku berharap akan mendapatkan jawaban yang baik dalam perspektif yang adil,” Alicia mengungkapkan harapannya.

“Saya senang berjumpa dengan orang seperti Anda Nona Alicia. Sebisa mungkin saya akan memenuhi harapan Anda itu, insya Allah. Tapi terus terang, bulan ini saya sangat sibuk. Saya harus komitmen dengan jadwal yang telah ada. Anda tentu bisa memaklumi. Apalagi saya sedang menyelesaikan magister saya. Jadi terus terang saya akan berusaha mencuri-curi waktu. Saya ada ide. Bagaimana kalau semua pertanyaan yang ingin Anda sampaikan, Anda tulis saja dalam sebuah kertas. Anda print. Dan nanti serahkan pada saya. Saya akan menjawabnya di sela-sela waktu senggang saya. Jika sudah terjawab semua akan saya serahkan kembali pada Anda. Lalu kita bertemu dalam suatu tempat dan kita diskusikan masalah yang belum clear. Bagaimana?”

“Saya kira ini ide yang bagus. Saya akan tuliskan pertanyaan saya secepatnya. Dalam dunia jurnalistik wawancara tertulis lazim juga digunakan. Terus bagaimana kita bisa bertemu lagi. Meskipun cuma sebentar untuk menyerahkan pertanyaan-pertanyaan saya itu?”
Aku berpikir sesaat. Mengingat jadwal aku keluar.
“Anda sekarang tinggal di mana?” tanyaku setelah aku ingat jadwal keluar dari Hadayek Helwan dalam waktu dekat.
“Saya menginap di Nile Hilton Hotel.”
“Sampai kapan?”
“Kira-kira masih sembilan hari di Mesir.”
“Baik. Bagaimana kalau kita berjumpa besok Senin, tepat pukul sebelas pagi?”
“Okey. Di mana?”
“Di kafetaria National Library. Letaknya di Kornes Nil Street tak jauh dari hotel Anda. Semua orang Mesir di hotel Anda, yang Anda tanya pasti tahu.”
“Baiklah.”
“Aku boleh datang ‘kan?” sela Aisha.
“Tentu saja,” jawabku dan Alicia hampir bersamaan.
“Kalau begitu aku pamit dulu. Bye!”
Aku beranjak pergi meninggalkan keduanya tepat pada saat sebuah metro dari Shubra El-Khaima datang. Perlahan berhenti. Perlahan-lahan terbuka. Kutunggu orang-orang yang turun habis. Baru aku naik. Ada banyak tempat duduk kosong. Aku pilih paling dekat. Duduk melihat ke arah jendela. Masinis membunyikan tanda. Ding dung... ding dung! Tanda metro sebentar lagi berjalan.
Tiba-tiba aku mendengar suara seseorang perempuan menyapaku dengan bahasa Arab minta izin duduk, “Hal tasmahuli an ajlis!”
Aku menengok ke asal suara. Perempuan bercadar. Aisha! Aku sedikit kaget. Aku menggeser tempat dudukku. Aisha duduk di sampingku.
“Mau ke mana?” tanyaku. Kali ini kami berbincang dalam bahasa Arab. Aku berusaha menggunakan kalimat-kalimat fusha yang mudah dipahami olehnya. Kuhindari bahasa ‘amiyah sama sekali.
“Aku perlu ikut kamu ke Masjid Indonesia,” jawabnya.
“Untuk apa?”
Metro mulai berjalan. Dua menit lagi metro akan melintas di bawah sungai Nil. Sayangnya pemandangan di luar jendela hanya gelap berseling cahaya lampu neon menempel di dinding terowongan.
“Aku ingin tahu komunitas orang Indonesia di Mesir. Siapa tahu aku bisa dapat bahan untuk tesis psikologi sosial S.2.-ku kelak. Aku lagi melengkapi data tentang masyarakat Jawa. Jadi mumpung ada kesempatan. Aku tidak akan melewatkan begitu saja. Siapa tahu nanti di masjid ada mahasiswi atau muslimah Indonesia, aku bisa kenalan. Dan besok-besok jika aku ada perlu, bisa datang sendiri.”
“O, begitu. Kalau ingin bertemu mahasiswi Indonesia, seandainya di masjid nanti tidak ada, namun semoga ada, insya Allah aku bisa bantu.”
“Terima kasih. Aku dengar dari paman, di Nasr City banyak mahasiswi Indonesia.”
“Benar. Mahasiswa Asia Tenggara mayoritas tinggal di sana.”
“Tadi kau bilang mau buat proposal tesis. Boleh tahu rencananya tema apa yang hendak kau garap?”
“Mungkin Metodologi Tafsir Syaikh Badiuz Zaman Said An-Nursi.”
“Ulama pembaru dari Turki itu?”
“Benar.”
“Pasti akan sangat menarik. Kebetulan keluarga kami di Turki adalah pengikut setia jamaah Syaikh Said An-Nursi rahimahullah.”
“Aku tahu, Eqbal Hakan pernah cerita padaku.”
“Di rumahnya banyak buku-buku karangan Syaikh An-Nursi.”
“Ya. Suatu saat aku akan ke sana jika aku perlu data tambahan.”
“Apa kau yakin sekarang tidak perlu data tambahan?”
“Untuk sekadar proposal mengajukan judul, konsepnya sudah matang dan tinggal saya ketik. Saya sudah punya empat ratus referensi. Jika diterima oleh tim penilai, barulah perlu bahan selengkap-lengkapnya untuk penyusunan tesis.”
“Semoga diterima. Jika kelak tesismu jadi siapa tahu bisa diterbitkan di Turki.”
“Amin.”
Metro sampai di mahattah Dokki. “Kita turun?” tanya Aisha.
“Tidak, mahattah depan. Tapi tidak ada salahnya siap-siap.”

Kami beranjak ke dekat pintu. Kami berdiri berdekatan. Di kaca pintu metro aku melihat bayanganku sendiri. Sama tingginya dengan Aisha. Mungkin aku lebih tinggi sedikit. Satu atau dua sentimeter saja. Metro berjalan lagi. Tak lama kemudian sampai di mahattah El-Behous. Antara mahattah Dokki dan mahattah El-Behous jaraknya memang tidak terlalu jauh. Keduanya masih dalam satu kawasan, yaitu kawasan Dokki.

Metro berhenti. Kami turun. Mahattah El-Behous berada sekitar dua puluh lima meter di bawah tanah. Dengan eskalator kami naik ke atas. Kami keluar ke permukaan seperti vampire keluar dari sarangnya di siang bolong. Sinar matahari terasa sangat menyilaukan. Panasnya menyengat dan menyiksa. Cepat-cepat kuambil kaca mata hitam dari tas cangklongku. Lumayan, untuk menyejukkan kornea mata. Aku berjalan dengan langkah cepat menuju Mousadda Street. Aisha mengimbangi langkah dua meter di belakangku. Kami diam seribu bahasa.

11.30.14 waktu Cairo, kami tiba di Masjid Indonesia yang tak lain adalah lantai dasar sebuah gedung yang disebut Sekolah Indonesia Cairo atau biasa disebut SIC. Lantai dasar itu cukup luas dan benar-benar layak disebut masjid. Beberapa kali Bapak Duta Besar Indonesia di Cairo mengundang diplomat negara lain yang muslim untuk shalat Jum’at di masjid ini. Dari gerbang masjid aku menangkap suara riuh anak-anak mengeja Al-Qur’an. Mereka adalah putera-puteri para pejabat KBRI yang belajar mengaji dibimbing oleh mahasiswa dan mahasiswi Indonesia yang sedang belajar di Al Azhar. Kupersilakan Aisha masuk.

Kulihat ada dua kelompok anak-anak mengaji. Di sebelah selatan dekat mihrab, kelompok putera dibimbing oleh Fathurrahman dan Hasyim, keduanya mahasiswa Al Azhar yang mengabdikan diri menjadi takmir. Di sebelah utara, kelompok puteri dibimbing oleh seorang perempuan bercadar, aku tidak tahu namanya dan seorang mahasiswi yang aku kenal yaitu Nurul, Ketua Wihdah. Diam-diam aku salut pada Nurul. Meskipun ia jadi ketua umum organisasi mahasiswi Indonesia paling bergengsi di Mesir, tapi ia tidak pernah segan untuk menyempatkan waktunya mengajar anak-anak membaca Al-Qur’an. Setelah bersalaman dengan Fathurrahman dan Hasyim, kuajak Aisha menemui Nurul yang sedang mengajar, dan beberapa kali melihat ke arah kami. Mungkin ia heran melihat aku datang bersama seorang perempuan bercadar. Selama ini aku dikenal tidak pernah jalan bersama seorang perempuan mana pun.

Kukenalkan Aisha pada Nurul dan Nurul pada Aisha. Kujelaskan siapa Aisha pada Nurul dan kujelaskan siapa Nurul pada Aisha. Nurul menyambut Aisha dengan senyum mengembang. Setelah mereka berbincang beberapa kalimat, barulah aku minta diri pada mereka untuk mempersiapkan khutbah. Sebelumnya aku jelaskan pada Aisha jika masih ingin berbincang, selepas shalat Jum’at ada waktu, meskipun sebentar.

Meskipun telah mandi, aku merasa perlu mandi lagi agar segar kembali. Musim panas selalu membuatku ingin mandi berkali-kali. Aku langsung ke ruang takmir yang tidak asing lagi bagiku. Melepas pakaian ganti sarung dan mandi. Masjid ini bisa dikatakan sangat lengkap peralatannya. Mulai dari peralatan ibadah, sound system, dan lain sebagainya. Bahkan peralatan dapur pun ada. Masjid memiliki dapur yang integral dengan dapur SIC. Memang kelebihan materi jika dialirkan untuk ibadah membuat segalanya jadi indah. Usai mandi aku kembali ke kamar takmir. Hasyim meminjamkan sarung baru, jas, serban dan kopiah putih. Aku memang sudah memesannya Jum’at yang lalu. Hasyim sudah paham, di antara sekian banyak mahasiswa yang mendapat jadwal khutbah hanya aku yang paling aneh. Datang memakai pakaian santai. Mandi dan merapikan diri di masjid. Sebab perjalanan dari Hadayek Helwan sampai Dokki cukup memakan waktu. Aku tidak mau ribet.

Pukul 12.00 pengajian anak-anak selesai. Pukul 12.20 Hasyim membaca Al-Qur’an dengan mujawwad menunggu jamaah datang. Pukul 12.35 ritual ibadah shalat Jum’at di mulai. Bapak Duta ada di barisan ketiga. Beliau datang agak terlambat. Tema khutbah yang diberikan takmir kepadaku adalah ‘Indahnya Cinta Karena Allah.’ Selesai pukul 13.20. Kami lalu makan bersama di belakang masjid. Menunya adalah Coto Makasar dan Es Buah.

Usai makan aku mendekati Aisha dan Nurul untuk pamitan. Kutanyakan pada Aisha apa masih ada yang bisa kubantu. Sebuah pertanyaan basa-basi. Dia bilang tidak. Kutanyakan apa mau pulang bersama. Sebab jalurnya sama. Sekali lagi sebuah pertanyaan basa-basi. Dia jawab masih ada yang dibicarakan dengan Nurul. Lalu Aku teringat Noura.

“Nur, bagaimana kabar Noura?”
“Dia sudah mulai dekat dengan kita-kita dan bisa tertawa.”
“Dia cerita tentang dirinya nggak?”
“Ya. Tapi baru sebatas sekolahnya.”
“Tentang perlakuan keluarganya padanya?”
“Belum.”
“Tolong dekati dia. Sepertinya dia memendam masalah serius. Perlakuan keluarganya selama ini tidak wajar. Kata Tuan Boutros, kita tidak akan bisa membantu kalau dia tidak jujur menjelaskan masalahnya. Kenapa malam-malam sampai dicambuk dan diusir ayahnya. Dia cerita pada Maria, ayah dan dua kakak perempuan menyuruh dia melakukan suatu pekerjaan yang dia tidak bisa melakukannya. Pekerjaan apa itu? Dan kenapa dia tidak bisa melakukannya? Apa masalah dia sesungguhnya. Kalau ayahnya menuntut dia harus kerja untuk dapat uang, Madame Nahed, ibunya Maria menawarkan dia bisa kerja di kliniknya sore hari. Tolong Nur, kau dekati dia dan bicaralah dari hati ke hati. Aku paling tidak tahan kalau melihat ada orang tertindas dan menderita di depan mataku.”
“Insya Allah Kak.”
“Oh ya, ini, untuk biaya makan Noura satu bulan. Semoga cukup,” aku mengulurkan amplop yang baru kuterima dari takmir.
“Tidak usah Kak.”
“Sudah jangan pakewuh. Kita sama-sama mahasiswa. Kita makan juga iuran. Kalau uang dapur ngepres kita juga ketar-ketir. Ayo terimalah! Apalagi Noura orang Mesir, dia tidak bisa selalu makan masakan kalian. Dia harus makan makanan Mesir dan itu perlu biaya ‘kan? Terimalah!”

Akhirnya Nurul mau menerimanya.

Bagaimana mungkin aku yang sudah merepotkan mereka masih juga membebankan biaya pada mereka. Dakwah ya dakwah. Ibadah ya ibadah. Tapi elokkah ongkos dakwah dan ibadah dibebankan orang lain?

Aku jadi teringat sepenggal episode perjalanan hijrah Nabi. Ketika akan berangkat hijrah ke Madinah beliau diberi seekor onta oleh Abu Bakar. Namun beliau tidak mau menerimanya dengan cuma-cuma. Beliau mau menerima dengan syarat onta itu beliau beli. Abu Bakar inginnya memberikan secara cuma-cuma untuk perjalanan hijrah Nabi. Tapi baginda Nabi tidak mau beban sarana dakwah dipikul oleh Abu Bakar yang tak lain adalah umatnya. Baginda Nabi tidak mau menggunakan kesempatan pengorbanan orang lain. Abu Bakar punya keluarga yang harus dihidupi. Dakwah harus berjalan profesional meskipun pengorbanan-pengorbanan tetap diperlukan. Dan Nabi mencontohkan profesional dalam berdakwah. Beliau tidak mau menerima onta Abu Bakar kecuali dibayar harganya. Mau tak mau Abu Bakar pun mengikuti keinginan Nabi. Onta itu dihargai sebagaimana umumnya dan Baginda Nabi membayar harganya. Barulah keduanya berangkat hijrah. Itulah pemimpin sejati. Tidak seperti para kiai di Indonesia yang menyuruh umat mengeluarkan shadaqah jariyah, bahkan menyuruh santrinya berkeliling daerah mencari sumbangan dana dengan berbagai macam cara termasuk menjual kalender, tapi dia sendiri cuma ongkang-ongkang kaki di masjid atau di pesantren.

Ketika seseorang telah disebut ‘kiai’ dia lalu merasa malu untuk turun ke kali mengangkat batu. Meskipun batu itu untuk membangun masjid atau pesantrennya sendiri. Dia merasa hal itu tugas orang-orang awam dan para santri. Tugasnya adalah mengaji. Baginya, kemampuan membaca kitab kuning di atas segalanya. Dengan membacakan kitab kuning ia merasa sudah memberikan segalanya kepada umat. Bahkan merasa telah menyumbangkan yang terbaik. Dengan khutbah Jum’at di masjid ia merasa telah paling berjasa. Banyak orang lalai, bahwa baginda Nabi tidak pernah membacakan kitab kuning. Dakwah nabi dengan perbuatan lebih banyak dari dakwah beliau dengan khutbah dan perkataan. Ummul Mu’minin, Aisyah ra. berkata, “Akhlak Nabi adalah Al-Qur’an!” Nabi adalah Al-Qur’an berjalan. Nabi tidak canggung mencari kayu bakar untuk para sahabatnya. Para sahabat meneladani apa yang beliau contohkan. Akhirnya mereka juga menjadi Al-Qur’an berjalan yang menyebar ke seluruh penjuru dunia Arab untuk dicontoh seluruh umat. Tapi memang, tidak mudah meneladani akhlak Nabi. Menuntut orang lain lebih mudah daripada menuntut diri sendiri.

“Nanti kalau ada apa-apa, atau ada yang kurang bilang saja. Juga kalau Noura sudah menceritakan masalahnya, langsung kontak secepatnya!” kataku pada Nurul.

Nurul mengangguk. Aku minta diri. Aku berdoa semoga masalah Noura segera selesai dan gadis malang itu tidak lagi menanggung derita yang mengenaskan. Bagaimana mungkin seorang ayah tega menyambuk anak gadisnya sampai mengelupas punggungnya. Di mana rasa kasih sayangnya? Apakah dia tiada pernah mendengar sabda nabi, siapa yang tidak memiliki rasa kasih sayang dia tidak akan disayang oleh Allah?


* * *


Dari El-Behous aku langsung ke Attaba. Aku harus mencari hadiah untuk Madame Nahed dan Yousef menyambut hari istimewa mereka. Meskipun sederhana, pasti akan jadi kejutan tersendiri, bahwa tetangganya dari Indonesia memberikan hadiah yang tiada disangka.

Aku ingat acara dunia wanita yang ditayangkan Nile TV. Di antara benda-benda yang disukai wanita adalah tas tangan. Kurasa tidak salah kalau aku menghadiahi Madame Nahed dengan tas tangan. Dan untuk Yousef aku akan belikan kaset percakapan bahasa Perancis dan kamusnya. Kuharap dia senang. Sebab dia pernah bilang jika kuliah nanti ingin mengambil sastra Perancis.

Attaba adalah pasar rakyat terbesar di Mesir. Semua ada. Harganya relatif lebih murah dibandingkan tempat yang lain. Meskipun begitu, seni menawar dan bergurau tetap penting untuk memperoleh harga miring. Orang Mesir paling suka dengan lelucon dan guyonan. Teater rakyat di Mesir sampai sekarang masih eksis, penontonnya selalu penuh melebihi gedung bioskop. Itu karena sandiwara humornya. Film Shaidi Fi Jamiah Amrika atau ‘Orang Kampung di Universitas Amerika’ adalah film yang sukses besar karena kocaknya. Mona Zaki bintang Lux Mesir itu tampil kocak di film itu. Aku sering mengumpulkan pepatah-pepatah kocak Mesir yang membuat orang Mesir akan terkaget dan tertawa saat kuajak bicara. Mereka akan terheran-heran aku dapat pepatah itu dari mana. Universitas Al Azhar tidak mungkin mengajarkannya. Pernah, seorang pedagang gendut yang kelihatannya enak diajak guyon kusapa dengan ‘Ya Kapten, kaif hal waz zaman syurumburum!” 70 Ia kaget dan terheran-heran. Aku tertawa dia pun tertawa. Kata-kata syurumburum adalah kata-kata aneh. Cara menyapa aneh ini aku dapat dari seorang pemilik qahwaji71di Sayyeda Zaenab.

Ohoi, sebetulnya hidup di Mesir sangat menyenangkan. Penuh seni dan hal-hal mengejutkan.

Di toko tas dan sepatu milik seorang lelaki muda bermuka bundar aku berhasil membawa tas tangan putih cantik dengan harga 50 pound. Padahal di tiga toko sebelumnya tas yang sama merk dan bentuknya tidak boleh 70 pound. Itu karena guyonan renyah. Ketika berbincang-bincang aku tahu dia penggemar aktor komedi legendaris Ismael Yaseen. Kubilang padanya aku ini cucu Ismael Yaseen.

Lalu aku perlihatkan tingkah, mimik dan gaya bicara seperti Ismael Yasin. Dia terpingkal. Dan tas itu pun kena. Setelah dapat tas aku mencari kaset dan kamus untuk Yousef. Kutemukan yang murah di toko kaset Sono Cairo. Dalam perjalanan pulang di dalam metro ada anak kecil berjualan koran. Aku ambil dua, Ahram dan Akhbar El-Yaum.

Menjelang Ashar aku tiba di flat dengan tenaga yang nyaris habis dan darah menguap kepanasan. Benar-benar lemas. Rudi tahu aku pulang dan sangat kelelahan. Ia membawakan segelas karikade dingin. Rasanya sangat segar. Meskipun Rudi orang Medan yang kalau berbicara tidak bisa sehalus orang Jawa, tapi hatinya halus dan penuh pengertian. Melihat bungkusan yang aku bawa dia penasaran. Ia minta izin membukanya. Dia kaget aku beli tas wanita.

“Untuk siapa ini Mas? Sudah punya calon rupanya? Diam-diam menghanyutkan. Tapi memang sudah saatnya. Oh iya, tadi Nurul nelpon. Jangan-jangan dia nih calonnya. Terus ini beli kaset percakapan bahasa Perancis segala, memangnya mau S.3. ke Sorbonne apa? Aku jadi ingat wawancara di bulletin Citra bulan lalu, Si Ketua Wihdah itu katanya juga sedang kursus bahasa Perancis di Ain Syams. Pas buanget. Benarlah kata orang Inggris, love and a cough cannot be hid. Cinta dan batuk tidak dapat disembunyikan!”

“Sudahlah Akhi. Aku lagi capek sekali. Nanti habis maghrib aku jelaskan semua. Tidak usah berprasangka yang bukan-bukan.”
Anak muda di mana-mana sama.
Mataku sudah liyer-liyer. Rudi bangkit, “Akh, aku istirahat sebentar. Jam lima seperempat dibangunkan ya?”
“Kalau ada telpon dari Nurul bagaimana?”
“Sudah jangan terus menggoda.”
“Congratulation Mas. She is the star, she is the true coise, she will be a good wife!”

Anak ini kalau menggoda tak ada habisnya. Agak keterlaluan sebenarnya. Tapi aku malas meladeninya. Aku memejamkan mata. Tak perlu kutanggapi sekarang, nanti juga dia akan tahu yang sesungguhnya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Novel: Ayat-Ayat Cinta (Bahagian 4)

4. Air Mata Noura


Meskipun cuma terlelap satu jam setengah, itu sudah cukup untuk meremajakan seluruh syaraf tubuhku. Setelah satu rumah shalat shubuh berjamaah di masjid, kami membaca Al-Qur’an bersama. Tadabbur sebentar, bergantian. Teman-teman sangat melestarikan kegiatan rutian tiap pagi ini. Selama ada di rumah, membaca Al-Qur’an dan tadabbur tetap berjalan, meskipun pagi ini kulihat mata Saiful dan Rudi melek merem menahan kantuk.

Usai tadabbur Saiful, Rudi, dan Hamdi merebahkan diri di tempat tidur masing-masing. Di musim panas, karena malamnya pendek, tidur selepas shubuh adalah hal biasa bagi kebanyakan mahasiswa Indonesia. Tidak putera, tidak puteri, semua sama. Wa bilkhusus para aktivis yang sering begadang sampai shubuh. Mereka para raja dan para ratu tidur pagi hari. Orang Mesir pun juga banyak melakukan hal yang sama. Begitu mendengar azan shubuh mereka yang tidak mau berjamaah langsung shalat lalu tidur dan bangun sekitar pukul setengah sembilan. Kantor-kantor dan instansi benar-benar membuka pelayanan setelah jam sembilan. Toko-toko juga banyak yang baru buka jam sembilan. Meskipun tidak semua. Ada beberapa instansi dan toko yang telah buka sejak jam tujuh. Yang paling disiplin buka pagi adalah warung penjual roti isy dan ful. Mereka telah buka sejak pagi-pagi sekali.

Kebiasaan tidur setelah shalat shubuh kurang baik ini sering disindir para Imam. Dalam sebuah khutbah Jum’at, imam muda kami, yaitu Syaikh Ahmad Taqiyyuddin pernah mengatakan, ‘Seandainya Israel menggempur Mesir pada jam setengah tujuh pagi maka mereka tidak akan mendapatkan perlawanan apa-apa. Mereka akan sangat mudah sekali memasuki kota Cairo dan membunuh satu per satu penduduknya. Karena pada saat itu seluruh rakyat Mesir sedang terlelap dalam tidurnya dan baru akan benar-benar bangun pukul sembilan.’

Kata-kata itu mungkin tidak seratus persen benar, tapi cukup mewakili untuk menggambarkan kelengangan kota Cairo pada jam setengah tujuh di musim panas. Padahal pada saat yang sama, di Jakarta sedang sibuk-sibuknya orang berangkat kerja, dan kemacetan terjadi di mana-mana.

Aku termasuk orang yang anti tidur langsung setelah shalat shubuh. Aku tidak mau berkah yang dijanjikan baginda Nabi di waktu pagi lewat begitu saja. Hal ini juga kutanamkan pada teman-teman satu rumah. Jadi seandainya semalam begadang dan mata sangat lelah, tetaplah diusahakan shalat shubuh berjamaah, membaca Al-Qur’an, dan sedikit tadabbur. Semoga yang sedikit itu menjadi berkah. Barulah tidur. Jika bisa tahan dulu sampai waktu dhuha datang, shalat dhuha baru tidur.

Kunyalakan komputer untuk kembali menerjemah. Baru setengah halaman bel berbunyi. Ada tamu. Ternyata Tuan Boutros dan Maria. Kupersilakan keduanya duduk.

“Fahri, maaf menganggu. Ada yang perlu kita bicarakan,” kata Tuan Boutros.
“Apa itu Tuan?”
“Noura.”
Maria langsung menyahut,
“Begini Fahri. Aku sudah berusaha keras. Tapi Noura tidak mau menceritakan segalanya. Dia hanya bilang telah diusir oleh ayah dan kakaknya karena tidak bisa melakukan hal yang ia tidak bisa melakukannya.”
“Hal yang ia tidak bisa melakukan itu maksudnya apa?” tanyaku.
“Ia tidak mau mengaku. Hanya itu yang bisa kudapat. Kami sekeluarga hanya bisa membantu sampai di sini.”
“Terus terang sebelum Si Bahadur bangun, Noura harus sudah meninggalkan rumah kami?” sahut Tuan Boutros.
“Bukannya kami tidak peduli. Kau tentu tahu sifat Si Bahadur itu. Di samping itu Noura memang ingin pergi untuk sementara. Ia kelihatan ketakutan dan cemas sekali. Ia tidak mau ayahnya tahu kalau ia ada di rumah kami,” sambung Maria.
“Lantas apa yang harus kita lakukan?” tanyaku.
“Untuk itulah kami berdua kemari. Mau tidak mau, pagi ini Noura memang harus pergi. Untuk kebaikan dirinya, dan untuk kebaikan seluruh penghuni apartemen ini. Jika sampai ia masih ada di sini, ayahnya akan kembali membuat keributan. Noura akan jadi bulan-bulanan. Masalahnya, semua orang sudah bosan. Yang jadi pikiran kami adalah Noura harus pergi ke mana. Kami tidak tega dia pergi tanpa tujuan dan tanpa rasa aman,” jelas Tuan Boutros.
“Anda benar Tuan Boutros. Dia harus pergi ke suatu tempat yang aman dan tinggal di sana beberapa waktu sampai keadaan membaik. Hmm..apakah dia tidak punya sanak saudara. Paman, bibi, atau nenek misalnya?”
“Di Cairo ini dia tidak memiliki siapa-siapa selain keluarga yang telah mengusirnya. Dia masih punya paman dan bibi. Tapi sangat jauh di Mesir selatan, dekat Aswan sana. Tepatnya di daerah Naq El-Mamariya yang terletak beberapa puluh kilo di sebelah selatan Luxor. Bahadur dan isterinya yaitu Madame Syaima berasal dari sana. Tapi Noura tidak bisa ke sana. Katanya, seingatnya ia baru dua kali ke sana dan tidak tahu jalannya. Ia tidak bisa sendirian ke sana,” jawab Maria.
“Teman sekolahnya?” tanyaku.
“Kami sudah memberikan saran itu padanya. Tapi Noura tidak mau. Ia ingin pergi ke tempat yang tidak akan ditemukan ayah dan kedua kakaknya sementara waktu. Seluruh rumah temannya telah diketahui ayahnya. Dia pernah diseret ayahnya saat tidur di rumah salah seorang temannya di Thakanat Maadi. Itu akan membuatnya malu pada setiap orang. Begitu katanya.”
Aku mengerutkan kening.
“Bagaimana dengan saudara atau kenalan kalian? Pasti kalian punya saudara dan kenalan yang tidak akan terlacak oleh ayahnya Noura. Dan itu bisa membantu Noura,” selorohku.
Tuan Boutros dan Maria sedikit kaget mendengar usulku. Keduanya berpandangan.
“Fahri, mohon kau mengertilah posisi kami. Sungguh kami ingin menolong Noura. Tapi menempatkan Noura di rumah kami, atau rumah saudara dan kenalan kami itu tidak mungkin kami lakukan. Karena ini akan menambah masalah?”
“Maksud Tuan Boutros?”
“Fahri, sebetulnya bisa saja kami membawa Noura ke tempat saudara kami. Tapi kalau nanti sampai ketahuan Bahadur masalahnya akan runyam. Bahkan kalau ada orang tidak bertanggung jawab yang suka memancing ikan di air keruh masalahnya bisa berkembang tidak hanya antara kami dan Bahadur. Bisa lebih gawat dari itu. Kau ‘kan tahu, kami sekeluarga ini penganut Kristen Koptik. Bahadur sekeluarga adalah muslim. Seluruh sanak saudara dan kolega kami yang paling dekat adalah orang-orang Koptik. Jika Noura bersembunyi di rumah kami atau rumah saudara kami bisa mendatangkan masalah. Meskipun kami tidak melakukan apa-apa kecuali menyediakan tempat dia berlindung. Kami nanti bisa dianggap merekayasa meng-Kristen-kan Noura. Kami harus menjaga perasaan Noura sendiri dan perasaan semuanya. Kau tentu tahu Noura siswi Ma’had Al Azhar. Dia tentu akan merasa asing di rumah orang yang bukan satu keyakinan dengannya. Dia akan merasa canggung untuk shalat, membaca Al-Qur’an dan lain sebagainya. Di rumah kami saja yang tetangganya, yang kenal baik dengannya, dia merasa canggung. Untuk shalat dia merasa tidak enak. Tadi kami yang mempersilakan dia untuk shalat. Kami tidak ingin ini terjadi pada Noura. Apa pun alasannya, yang paling bijak adalah menempatkan Noura di tempat orang yang satu keyakinan dengannya. Yang bisa mengerti keadaannya. Terus terang untuk ini kami minta bantuanmu. Meskipun kamu bukan orang Mesir tapi kamu tentu punya kenalan orang Mesir yang muslim. Menurut kami semua orang muslim itu baik kecuali Si Bahadur itu,” jelas Maria panjang lebar.

Aku merenungkan penjelasan Maria. Sungguh bijak dia. Kata-kata adalah cerminan isi hati dan keadaan jiwa. Kata-kata Maria menyinarkan kebersihan jiwanya. Sebesar apa pun keikhlasan untuk menolong tapi masalah akidah, masalah keimanan dan keyakinan seseorang harus dijaga dan dihormati. Menolong seseorang tidak untuk menarik seseorang mengikuti pendapat, keyakinan atau jalan hidup yang kita anut. Menolong seseorang itu karena kita berkewajiban untuk menolong. Titik. Karena kita manusia, dan orang yang kita tolong juga manusia. Kita harus memanusiakan manusia tanpa menyentuh sedikit pun kemerdekaannya meyakini agama yang dianutnya. Tak lebih dan tak kurang. Ah, andaikan umat beragama sedewasa Maria dalam memanusiakan manusia, dunia ini tentu akan damai dan tidak ada rasa saling mencurigai. Diam-diam aku bersimpati pada sikap Maria.

Aku lalu berpikir sejenak mencari jalan keluar. Sebenarnya aku bisa ke tempat Syaikh Ahmad. Tapi masalahnya, waktu sangat mendesak. Noura harus segera pergi sebelum keluarganya bangun. Dan dia harus pergi sendiri, agar tidak ada yang disalahkan, atau terseret ke dalam pusaran masalahnya dengan keluarganya. Aku teringat sesuatu.

“Oh ya aku ada ide,” kataku.
“Apa itu?” tuan Boutros dan Maria menyahut bareng.
“Bagaimana kalau sementara waktu Noura tinggal di salah satu rumah mahasiswi Indonesia di Nasr City.”
“Saya kira ini usul yang bagus. Mungkin mahasiswi Indonesia itu bisa mendekatinya dan Noura bisa menceritakan semua derita yang dialaminya. Setelah itu bisa dicarikan pemecahan bersama yang lebih baik. Sebab dia kelihatannya sudah benar-benar dimusuhi keluarganya. Noura berkata, bahkan ibunya sendiri yang dulu sering membelanya kini berbalik ikut memusuhinya. Kita tidak tahu apa yang terjadi pada Noura sebenarnya,” ujar Maria.
“Baiklah aku akan menghubungi seorang mahasiswi Indonesia di Nasr City.”
“Lebih cepat lebih baik. Waktunya semakin sempit.”
Aku langsung bergegas mengambil gagang telpon dan memutar nomor rumah Nurul, Ketua Wihdah, induk organisasi mahasiswi Indonesia di Mesir. Seorang temannya bernama Farah yang menerima, memberitahukan Nurul baru sepuluh menit tidur, sebab tadi malam ia bergadang di sekretariat Wihdah.
“Tolong, ini sangat mendesak!” paksaku.
Akhirnya beberapa menit kemudian Nurul berbicara,
“Ada apa sih Kak. Tumben nelpon kemari?”
Aku lalu mengutarakan maksudku, meminta bantuannya, agar bisa menerima Noura bersembunyi di rumahnya beberapa hari. Mula-mula Nurul menolak. Ia takut kena masalah. Di samping itu, tinggal bersama gadis Mesir belum tentu mengenakkan. Aku jelaskan kondisi Noura. Akhirnya Nurul menyerah dan siap membantu.
“Begini saja Kak Fahri. Si Noura suruh turun di depan Masjid Rab’ah. Aku dan Farah akan menjemputnya tepat pukul setengah sembilan.”
“Baiklah.”

Hasil pembicaraanku dengan Nurul aku jelaskan pada Tuan Boutros dan Maria. Mereka tersenyum lega. Mereka mengajakku ke atas ke flat mereka untuk menjelaskan segalanya pada Noura. Di ruang tamu rumah Tuan Boutros, Noura menunduk dengan wajah sedih. Ada bekas biru lebam di pipinya yang putih. Matanya memerah karena terlalu banyak menangis. Aku meyakinkan, dia akan aman di tempat Nurul. Mereka semua mahasiswi Al Azhar dari Indonesia yang halus perasaannya dan baik-baik semua. Noura mengucapkan terima kasih atas pertolongan dan meminta maaf karena merepotkan. Kujelaskan di mana dia akan dijemput Nurul dan Farah.

“Biar cepat, kau naik metro sampai Ramsis. Setelah itu naik Eltramco jurusan Hayyul Asyir atau Hayyu Sabe’ yang lewat masjid Rab’ah. Turun di masjid Rab’ah dan cari dua mahasiswi Indonesia. Kau tentu tahu ‘kan muka orang Indonesia. Nurul memakai kaca mata jilbabnya panjang. Farah tidak pakai kaca mata, dia suka jilbab kecil. Ditunggu setengah sembilan tepat. Ini nomor telpon rumahnya,” kataku sambil menyerahkan selembar kertas bertuliskan nomor telpon dan selembar uang dua puluh pound. “Terimalah untuk ongkos perjalanan dan untuk menelpon kalau ada apa-apa.”

Noura terlihat ragu.

“Jangan ragu. Aku tidak bermaksud apa-apa. Kita ini satu atap dalam payung Al Azhar. Sudah selayaknya saling menolong,” kataku meyakinkan.
“Noura, terimalah. Fahri ini orang yang baik. Dia hafal Al-Qur’an. Apa kamu tidak percaya dengan orang yang hafal Al-Qur’an?” ucap Maria meyakinkan Noura.
Akhirnya Noura mau menerima kertas dan uang dua puluh pound itu dengan mata berlinang. Bibirnya bergetar mengucapkan rasa terima kasih. Pagi itu juga Noura pergi ke Nasr City dengan langkah gontai. Saat menatap Maria ia mengucapkan rasa terima kasih dan berusaha tersenyum.


* * *


Pukul sembilan Nurul menelpon, Noura sudah berada di tempatnya. Dia minta saya datang, sebab ada seorang anggota rumahnya yang belum bisa menerima Noura tinggal di sana. Terpaksa saat itu juga aku meluncur ke Nasr City. Sampai di sana aku menjelaskan panjang lebar apa yang menimpa Noura. Aku jelaskan penderitaannya seperti yang telah berkali-kali aku lihat. Tentang ayahnya, ibunya dan kakak perempuannya yang tiada henti menyiksa fisik dan batinnya. Tentang betapa baiknya keluarga Maria dan betapa dewasanya mereka menyarankan agar Noura tinggal di rumah orang yang seiman dengannya agar lebih at home. Mendengar itu semua mereka menitikkan air mata dan siap menerima Noura.

Dari Nasr City aku langsung ke kampus Al Azhar di Maydan Husein. Langsung ke syu’un thullab dirasat ulya.54 Mereka mengucapkan selamat atas kelulusanku. Aku diminta segera mempersiapkan proposal tesis. Setelah itu aku ke toko buku Dar El-Salam yang berada di sebelah barat kampus, tepat di samping Khan El-Khalili yang sangat terkenal itu. Untuk melihat buku-buku terbaru Dar El-Salam adalah tempat yang paling tepat dan nyaman. Buku terbaru Prof. Dr. M. Said Ramadhan El-Bouthi menarik untuk dibaca. Kuambil satu.

Keluar dari Dar El-Salam matahari sudah sangat tinggi mendekati pusar langit. Udara sangat panas. Tak jauh dari Dar El-Salam ada penjual tamar hindi. Aku tak bisa mengekang keinginanku untuk minum. Satu gelas saja rasanya luar biasa segarnya. Aku pulang lewat Attaba. Aku teringat jadwal belanja. Kusempatkan mampir di pasar rakyat Attaba. Dua kilo rempelo ayam, satu kilo kibdah dan dua kilo suguq56 kukira cukup untuk lauk beberapa hari.

Begitu masuk mahattah metro, azan zhuhur berkumandang. Dalam perjalanan, panas matahari kembali memanggang. Sampai di rumah pukul dua kurang seperempat. Aku masuk kamar dengan ubun-ubun kepala terasa mendidih. Musim panas memang melelahkan. Sampai di flat aku langsung teler. Telentang di karpet dengan dada telanjang menikmati belaian hawa sejuk yang dipancarkan kipas angin kesayangan yang membuatku terlelap sesaat.

Dalam lelap, aku melihat Noura di pucak Sant Catherin, Jabal Tursina. Ia melepas jilbabnya, rambutnya pirang, wajahnya bagai pualam, ia tersenyum padaku. Aku kaget, bagaimana mungkin Noura berambut pirang, padahal ayah dan ibunya mirip orang Sudan. Hitam dan rambutnya negro. Aku menatap Noura dengan heran. Lalu Nurul datang. Ia menangis padaku, lalu marah-marah pada Noura. Aku terbangun membaca ta’awudz dan beristighfar berkali-kali. Jam setengah tiga. Aku belum shalat. Setan memang suka memanfaatkan kelemahan manusia. Tak pernah merasa kasihan. Untung waktu zhuhur masih panjang. Aku beranjak untuk shalat.

Usai shalat aku kembali menelentangkan badan. Kali ini di atas tempat tidur, entah kenapa kepalaku terasa nyut-nyut. Atau mungkin karena kelelahan dua hari ini. Mimpi bertemu Noura masih ada dipikiran. Juga Nurul, kenapa ia menangis dan marah. Apakah ini hanya kebetulan, atau jangan-jangan betulan. Aku jarang sekali bermimpi yang bukan-bukan. Mimpi bertemu perempuan bagiku adalah mimpi yang bukan-bukan. Aku masih bisa menghitung berapa kali aku bermimpi bertemu perempuan. Tak ada sepuluh kali. Semuanya bertemu perempuan yang satu, yaitu ibuku. Kali ini aku bertemu Noura yang memperlihatkan rambutnya yang pirang dan Nurul yang menangis dan marah. Yang kupikirkan adalah Nurul. Apakah Nurul sejatinya menerima kehadiran Noura dengan terpaksa. Hatiku tidak tenang. Aku bangkit. Tidak jadi tidur lagi. Kutelpon Nurul.

“Tidak ada acara Nur?”
“Sore ini tidak ada Kak. Jadwalnya istirahat.”
“Bagaimana dengan Noura?”
“Baik. Dia sekarang sedang tidur di kamarku. Benar katamu Kak, dia memang patut di kasihani. Punggungnya penuh luka cambuk.”
“Benarkah?”
“Ya.”
“Apa dia sudah bercerita banyak pada kalian?”
“Belum. Masih dalam taraf mencoba saling kenal. Tapi dia tidak tahan merasakan sakit di punggungnya akhirnya dia sedikit bercerita kalau ayahnya suka mencambuknya dengan ikat pinggang. Ayah yang kejam!”
“Sudah dibawa ke dokter?”
“Belum, rencananya nanti sore.”
“Nur, boleh aku tanya sedikit. Ini soal pribadi.”
“Apa itu Kak?”
“Apa kau sedang marah?”
“Marah kenapa?”
“Karena Noura. Apa kalian menerimanya dengan terpaksa?”
“Jangan suudhan pada saya dan teman-teman Kak. Keberadaan Noura di sini tidak ada masalah kok. Kenapa sih Kakak terlalu berprasangka begitu?”
“Ya aku kuatir saja kalian merasa terganggu dan direpotkan.”
“Nggak. Nggak apa-apa. Sure nggak apa-apa. Jangan kuatir!”
“Syukran kalau begitu.”
“Afwan.”
Benar, tadi itu yang datang dalam lelapku dari setan.
Nurul tidak apa-apa.
Suaranya juga bening ceria seperti biasa. Tidak ada rasa jengkel atau marah sedikit pun. Sekarang Noura berambut pirang. Benarkah? Selama ini aku tidak pernah melihat Noura lepas jilbab. Dari mana aku akan cari info. Tanya pada ibu atau kedua kakaknya, gila apa. Tanya Maria. Ya Maria, mungkin dia tahu. Aku balik ke kamar. Mengambil handphone dan mengirim pesan pada Maria.
“Maria boleh tanya?”
Lima menit kemudian,
“Boleh. Tanya apa?”
“Jangan kaget ya? Mungkin pertanyaan aneh.”
“Apa itu?”
“Apa Noura berambut pirang?”
“Pertanyaanmu memang aneh. Jawabnya ya, dia berambut pirang. Kenapa kau tanyakan itu?”
“Ingin tahu saja. Tapi jika dia berambut pirang memang aneh.”
“Aneh bagaimana? Orang Mesir biasa berambut pirang.”
“Bukan itu maksudku. Bukankah ayah dan ibunya seperti orang Sudan? Hitam dan berambut negro?”
“Kau ingin mengatakan Noura bukan anak mereka.”
“Entahlah. Ini hanya firasat.”
“Tapi firasatmu mungkin ada benarnya.”
“Hanya Tuhan yang tahu.”
Aku kembali menelentangkan badan di atas kasur. Saatnya tidur. Baru dua detik mata terpejam, handphoneku menjerit. Nomor tak kukenal. Siapa ya? Kuangkat,
“Assalamu’alaikum.”
Suara bening perempuan. Logatnya agak aneh. Siapa ?
“Wa ‘ailakumussalam. Ini siapa ya?” jawabku balik bertanya.
“Sind Sie Herr Fahri?” Dia malah balik bertanya dengan bahasa Jerman. Aku langsung teringat perempuan bercadar biru muda yang kemarin bertemu di dalam metro. Dia pasti Aisha.
“Ja. Sie Aisha?” jawabku dengan bahasa Jerman.
“Ja. Herr Fahri, haben Sie zeit?” Pertanyaannya mengandung maksud mengajak bertemu.
“Heute?”
“Ja. Heute, ba’da shalat el ashr.”

Aku ingin tertawa mendengar dia mencampur bahasa Jerman dengan bahasa Arab. Tapi memang tepat. Kata-kata shalat sejatinya susah diterjemahkan ke dalam bahasa lain secara pas.

“Nein danke, heute ba’da shalat el ashr habe ich leider keine Zeit! Ich habe schon eine verabredung!” Maksudku adalah janji pada jadwal untuk menerjemah.

Aisha lalu menjelaskan ia ingin bertemu denganku secepatnya. Ia minta aku bisa meluangkan sedikit waktu. Karena sangat penting. Berkaitan dengan Alicia yang katanya ingin berbincang seputar Islam dan ajaran moral yang dibawanya. Alicia ingin sekali bertanya banyak hal padaku sejak kejadian di atas metro itu. Aisha memohon dengan sangat, sebab menurutnya ini kesempatan yang baik untuk menjelaskan Islam yang sebenarnya pada orang Barat. Aisha mengatakan Alicia seorang reporter berita. Ia wartawan dan ini kesempatan emas. Mau tak mau aku mengiyakan dan menawarkan bagaimana jika bertemu besok. Ia senang sekali mendengarnya. Kami membuat kesepakatan bertemu di mahattah metro bawah tanah Maydan Tahrir tepat jam setengah sebelas. Aku minta padanya untuk datang tepat waktu. Ia tertawa. Sedikit ia meledek, bukankah seharusnya dia yang meminta padaku untuk datang tepat waktu. Aku tersenyum kecut. Memang orang Indonesia terkenal jam karetnya. Aku tidak sangka kalau orang seperti Aisha tahu akan hal itu. Aku tidak perlu bertanya padanya dari mana ia tahu itu. Sebuah pertanyaan bodoh di dunia global seperti sekarang ini. Bukankah dengan kecanggihan teknologi jarum jatuh di pelosok Merauke sana bisa terdengar sampai ke New York dan ke seluruh penjuru dunia?

Aku langsung menulis janji bertemu Aisha pada planning kegiatan esok hari. Ternyata padat. Besok jadwal khutbah di masjid Indonesia. Berarti nanti malam mempersiapkan bahan khutbah. Pagi diketik dan langsung di-print. Lantas istirahat. Tidak ke mana-mana. Tidak juga sepak bola. Untak stamina khutbah. Kalaupun ingin melakukan sesuatu lebih baik menerjemah beberapa halaman. Jam sembilan berangkat. Sampai di Tahrir kira-kira jam sepuluh. Kalau misalnya metro sedikit terlambat, aku bisa tetap datang tepat waktu. Lantas berbincang dengan Aisha dan Alicia sampai jam sebelas. Setelah itu pergi ke Dokki untuk khutbah. Aku harus datang di awal waktu biar tidak gugup. Begitu rencananya. Jika tidak dibuat outline yang jelas seperti itu akan membuat hidup tidak terarah dan banyak waktu terbuang percuma.

Kulihat kalender. Melihat kalender adalah hal yang paling kusuka. Karena bagiku dengan melihatnya optimisme hidup itu ada.

Jum’at tanggal sembilan dan Sabtu tanggal sepuluh. Ada tanda pada tanggal sepuluh. Hmm..kapan aku memberi tanda dan untuk apa? Jangan-jangan aku ada janji dengan seseorang. Aku berusaha mengingat-ingat. Rancangan kegiatan satu bulan aku lihat. Juga tidak ada janji khusus. Terus itu tanda apa ya? Hari Minggunya, tanggal sebelas juga ada tanda yang sama. Dua hari berturut-turut. Aku teringat sesuatu. Ya itu tanda yang aku bubuhkan tiga bulan lalu begitu tahu tanggal lahir seluruh keluarga Tuan Boutros. Aku berniat memberikan hadiah untuk mereka, tepat di hari ulang tahun mereka. Madame Nahed, ibunya Maria, ulang tahun tanggal 10 Agustus. Si Yousef adik lelaki Maria tanggal 11 Agustus, satu hari setelah ibunya. Sedangkan Tuan Boutros 26 Oktober, dan Maria 24 Desember. Tanggal-tanggal itu telah aku beri tanda. Aku paling suka memberi kejutan pada teman atau kenalan. Teman satu rumah sudah mendapatkan hadiah mereka pada hari istimewa mereka. Berarti besok kegiatannya bertambah satu, mencarikan hadiah untuk Madame Nahed dan Yousef. Hadiah yang sederhana saja. Sekadar untuk memberikan rasa senang di hati tetangga. Tiba-tiba aku berpikir ingin memberikan hadiah pada Si Muka Dingin Bahadur, ayah Noura yang mirip orang Sudan itu. Apa reaksinya kira-kira?


* * *

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...